Pantulan Warna Zona 7 : Pendidikan Seksualitas


Assalammualaikum,

tidak terasa sudah kembali lagi waktunya mengalirkan rasa tentang apa yang didapatkan selama berada di zona ke-7 kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional. Tema di zona ini adalah mengenai Pendidikan Seksualitas. Berbeda dari zona-zona sebelumnya, pada zona ini dibentuk beberapa kelompok kecil dari berbagai regional untuk mendiskusikan topik-topik terkait pendidikan seksualitas pada anak.


Seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya, aku beserta teman-teman sekelompok mendiskusikan mengenai Penyimpangan Seksualitas, Pencegahan dan Solusinya. Saat berdiskusi, jujur aku merasa harus lebih aware dan menanamkan iman yang (lebih) kuat pada anakku. Melihat banyaknya penyimpangan seksualitas yang terjadi di zaman sekarang, membuat aku yang saat ini sudah menjadi orang tua banyak-banyak beristighfar dan memohon pada Allah swt untuk dijauhkan dari hal-hal tersebut.

Pendidikan seksualitas sejatinya harus dimulai sejak dini. Berdasarkan pengalamanku saat masih kecil, orang tua masih menganggap tabu jika harus mengajarkan anak-anaknya tentang pendidikan seksualitas. Akibatnya, anak akan mencari tahu sendiri dan akan berdampak buruk jika ia mendapatkan informasi dari pergaulan yang salah.

Oleh sebabnya, aku jadi terhenyak ketika mendapat materi tentang pendidikan seksualitas di zona ke-7 ini. Membuatku berefleksi dan membuka diskusi dengan suamiku perihal mengajarkan anak mengenai pendidikan seksualitas sejak dini.

Aku merasa, aku dan suamiku sebagai orang tua harus percaya diri lebih dahulu untuk mempunyai mindset bahwa it's okay loh membahas hal seperti ini dengan anak, karena memang sebaiknya anak tahu dari orang terdekatnya yaitu kedua orang tuanya. Keterbukaan dengan anak pun harus dibangun sehingga trust and attachment anak pada kedua orang tuanya semakin kuat.

Pemikiran anak-anak itu sebetulnya netral, anak akan menganggap pendidikan seksualitas itu adalah hal yang lumrah ketika kedua orang tuanya membahas secara terbuka dengan dirinya. Namun akan menjadi tabu ketika kedua orang tuanya membicarakan tentang aqil baligh atau misalnya menstruasi dengan nada yang bisik-bisik seperti tidak layak untuk diketahui oleh umum. Tentu anak akan memiliki pandangan lain mengenai hal ini.

Dari zona ini, hal penting yang aku pelajari lagi adalah pentingnya peran ayah dalam pendidikan seksualitas. Ini sudah pernah dituliskan dalam judul "Pendidikan Seksualitas, Tantangan Hari Ke-9". Selama ini, dalam rumah tanggaku, aku selalu aktif menggaungkan dan mengkampanyekan betapa pentingnya peran ayah dalam pengasuhan. Suamiku akan selalu aku libatkan dalam setiap kegiatan mengasuh dan membersamai anak. Aku tidak menganggap suamiku sebagai supporting team, melainkan tim inti yang berjuang bersama diriku membesarkan anak.

Ternyata, peran ayah dalam pengasuhan memang sedemikian vital dan tidak kalah penting dengan peran seorang ibu. Banyak kasus pelecehan seksual atau penyimpangan seksual yang terjadi karena fenomena father hunger, di mana para pelaku tidak mendapatkan kasih sayang dan keterlibatan ayahnya dalam pengasuhan. Yang membuat makin sedih, Indonesia termasuk dalam jajaran negara yang dilabeli "fatherless country" di mana peran ayah dalam pengasuhan masih dipandang sebelah mata. Padahal, peran ayah itu harus ada dan tidak tergantikan loh.

Banyak sekali hal yang harus dipelajari dan diperdalam untuk mengajarkan anak mengenai pendidikan seksualitas, misalnya saja tentang bagaimana peran gadget dalam perkembangan seksualitas anak, bagaimana mempersiapkan diri untuk membesarkan anak sehingga ia menjadi pribadi yang siap ketika aqil baligh nanti tiba masanya, dan masih banyak lagi.

Pastinya, zona ini membuat mataku semakin terbuka kalau tanggung jawab menjadi orang tua bukan hanya sekedar membesarkan anak saja tapi juga mempersiapkan anak-anak menjadi pribadi yang sholeh sholehah dan dapat dilepas di dunia luar kelak untuk menjalani kehidupannya masing-masing. Waa! Semangat terus ya ibu-bapak.

Imawati Annisa Wardhani
Regional Sukabumi


Posting Komentar

0 Komentar