Tantangan Menjadi Ibu Rumah Tangga dan Freelance Remote Worker

Tantangan Menjadi Ibu Rumah Tangga dan Freelance Remote Worker

Bekerja secara remote bisa menjadi opsi terbaik bagi ibu rumah tangga yang ingin tetap produktif melakukan aktivitas lain di luar pekerjaannya mengurus rumah. Saya, termasuk IRT yang mengambil opsi tersebut.

Meskipun istilah remote worker ini sudah tidak asing lagi di era digitalisasi 4.0, masih banyak yang menganggap bekerja remote itu sama dengan tidak bekerja, alias tetap dipandang sebagai pengangguran. Wkwk.

Sejujurnya, saya ingin bisa kembali bekerja di ranah publik. Namun, saat ini masih terhalang birokrasi alias ridho suami. Ya sudah, selama saya dibebaskan melakukan kegiatan apapun dari rumah, so far nggak gimana-gimana, sih. That's why saya memilih jalan menjadi seorang freelancer yang bekerja secara remote.

Baca juga: Tips Work from Home untuk Ibu Rumah Tangga

Kurang lebih sudah 4 tahun belakangan ini, saya menekuni dunia freelancing sebagai blogger, content writer dan mengelola beberapa website. Saya memulainya saat anak saya berusia 1 tahun. Setelah menjalaninya, ternyata menjadi seorang remote worker itu nggak sesantai yang digambarkan oleh media sosial. Ada banyak sekali tantangan yang saya hadapi, mengingat pekerjaan utama saya adalah ibu rumah tangga.

Tantangan Ibu Rumah Tangga yang Seorang Freelance Remote Worker

Terutama saat anak saya masih kecil dan belum sekolah, saya merasa juggling banget menjalankan pekerjaan rumah tangga sekaligus menjadi freelancer. Tantangan-tantangan tentu masih ada hingga saat ini, ketika anak saya sudah bersekolah.

Buat Mae frens yang tertarik untuk menjadi pekerja remote sembari tetap menjadi ibu rumah tangga, apalagi tanpa ART, ketahui dulu tantangan-tantangan berikut ini:

freelance-remote-worker


1. Sulitnya Memisahkan Peran yang Berbeda di Rumah

Tantangan yang paling sering saya hadapi sebagai ibu yang bekerja di rumah adalah kesulitan memisahkan peran saya sebagai seorang ibu rumah tangga dan sebagai remote worker. Seringkali saya bekerja di depan laptop sambil nyambi-nyambi pekerjaan rumah tangga.

Ada kalanya juga saya lupa dengan pekerjaan yang seharusnya saya kerjakan, dan justru melakukan kegiatan lain. Contohnya, ketika saya sudah membuka laptop dan siap untuk bekerja, kemudian saya ke dapur untuk mengambil minum. Di sana, saya malah menyapu, mencuci piring atau membereskan meja makan. Haha. Nggak fowkes ya, Buun!

2. Distraksi dari Anggota Keluarga

Sebenarnya, ada banyak peluang untuk saya bisa bekerja full time secara remote. Namun, hal tersebut saya nilai belum memungkinkan mengingat anak saya yang masih butuh perhatian penuh. Ketika anak saya belum bersekolah, saya akan mencuri-curi waktu untuk bekerja di jam tidurnya. Sekarang, saya bisa leluasa bekerja saat ia sedang bersekolah.

Saat ini, saya memilih untuk tidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Sehingga, saat anak saya di rumah, fokus utama saya adalah membersamainya. Ada sih, waktu-waktu di mana saya harus meninggalkan anak saya bermain sendiri, sementara saya harus bekerja karena dikejar deadline. Tapi tetap saja, kalau dia sudah merasa bosan, dia akan gelendotan dan meminta saya menyudahi pekerjaan.

Nggak hanya anak, suami pun demikian. Terkadang, pekerjaan yang saya lakukan nggak bisa tuntas dalam sekali duduk. Akhirnya, jam kerja pun mundur hingga suami saya sudah pulang kerja. Kalau sudah demikian, mana bisa saya menyelesaikan pekerjaan dengan tenang. Pengen juga kan quality time sama suami setelah sama-sama melewati hari yang panjang.

Selain dari anggota keluarga, distraksi juga bisa datang dari mana saja saat sedang bekerja di rumah. Tukang sayur lewat, tamu yang tiba-tiba mampir ke rumah, dan lainnya. Ini membuat fokus saya terbagi-bagi.

3. Tidak Memiliki Jam Kerja yang Pasti

Saya memilih pekerjaan yang statusnya flexible working hour. Saya bisa bekerja kapan pun, di mana pun tanpa terikat hari dan jam kerja. Sounds good, right? Tapi, ini berarti saya bisa bekerja sampai larut malam, atau terpaksa tidak ke mana-mana saat weekend karena ada deadline pekerjaan.

Terkadang, klien mengirimkan pekerjaan untuk saya dengan deadline satu atau dua minggu ke depan. Tentu saja, saya bisa memilih untuk mengerjakannya sedikit demi sedikit, atau menumpuknya mendekati deadline. Semua diserahkan pada pekerja remote dengan konsekuensinya masing-masing.

4. Kurangnya Interaksi Sosial

Sebagai orang yang suka ngobrol dan bersosialisasi, saya sering merasa kesepian saat bekerja remote. Sendirian, di rumah, atau di kafe. Less stress memang, karena saya nggak perlu bersinggungan dengan banyak orang seperti di kantor, yang kemungkinan timbul konfliknya lebih besar.

Tetap saja, ada kalanya saya butuh teman ngobrol, bertukar pikiran atau bercanda untuk mengusir kebosanan. Untungnya, saya bisa menyiasati ini dengan kegiatan lain seperti mendengarkan musik (sambil nyanyi), atau intip grup chat kesayangan buat nimbrung tipis-tipis.

Baca juga: 6 Tips Mengusir Kebosanan untuk Ibu Rumah Tangga

5. Keterbatasan Ruang Kerja

Jika di kantor semua fasilitas untuk bekerja biasanya sudah disediakan, berbeda dengan saat kita bekerja sebagai remote worker. Belum tentu semua orang memiliki ruang kerja pribadi, meja dan kursi kerja yang nyaman, bahkan peralatan penunjang seperti laptop, alat tulis dan sebagainya.

Saya sendiri, di awal kembali bekerja sebagai remote worker, hanya bermodalkan meja lipat dan laptop second yang dibelikan suami. Kerjanya pun di dalam kamar, agar mudah memantau anak. Saat ini, alhamdulillah sudah memiliki area kerja sendiri meskipun masih bersebelahan dengan area kerja domestik lain, yaitu tempat setrikaan. Haha..

6. Penghasilan yang Tidak Tetap

Mungkin Mae frens banyak melihat di iklan-iklan yang menggambarkan betapa nyamannya kehidupan sebagai freelance worker dengan penghasilan yang besar. Mereka bisa bangun siang dan bekerja kapan pun, bisa bekerja saat traveling atau sembari momong anak.

Ya betul sih, saya sering baru mulai bekerja di siang hari, bekerja sambil staycation, dan harus fokus menulis sementara anak saya sibuk bercerita. Namun, untuk bisa mendapatkan penghasilan yang besar seperti yang digambarkan di iklan-iklan, there's a price to pay, too.

Baca tentang: 6 Tips Mempersiapkan Blog agar Berpenghasilan

Seorang freelancer dituntut untuk selalu aktif. Entah itu aktif mencari job di berbagai platform, membangun portfolio, maupun aktif untuk terus mempelajari hal-hal baru untuk meningkatkan skill-nya. Dengan melakukan hal tersebut pun, belum tentu kita akan mendapatkan penghasilan yang sama setiap bulannya.

Ada waktu di mana freelancer bisa mendapatkan banyak job dalam satu bulan, namun bulan berikutnya sepi, dan sebaliknya. Tapi ya, yakin saya setiap individu sudah punya rezekinya masing-masing. Tugas kita hanya berusaha dan bekerja keras.

Ingat WIR, kamu perintis bukan pewaris! Haha..

Manajemen Waktu Adalah Kunci IRT sebagai Freelance Remote Worker

time-management-remote-worker

Segitu dulu aja kali ya tantangan-tantangan yang pernah saya hadapi selama menjadi freelancer yang bekerja remote. Dengan segala tantangan yang saya temui di atas, mengapa masih memilih menjadi remote worker?

Opsi ini masih menjadi pilihan terbaik untuk saya saat ini. Tanpa meninggalkan tugas-tugas saya sebagai ibu rumah tangga, saya tetap bisa mengaktualisasi diri di rumah. Menurut saya, kuncinya ada di manajemen waktu yang baik.

Baca juga: 7 Ide Topik Menulis Seputar Ibu Rumah Tangga

Jika kita pintar mengelola 24 jam yang diberikan Tuhan, work life balance sebagai remote worker bisa saja didapatkan. Masalah besar kecilnya penghasilan, kembali lagi dengan usaha kita dan rezeki yang sudah diatur oleh Allah swt.

Gimana frens, masih tertarik untuk mencoba bekerja sebagai freelance remote worker di tengah-tengah kesibukan sebagai ibu rumah tangga? Share di kolom komentar ya!

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Dear Ima,,
    Ada cerita nih, seseorang ibu yang sejak anak semata wayangnya kecil telah bekerja menjadi remote worker. Tetapi semenjak usianya 40 tahun ke atas, entah bagaimana beberapa pekerjaan tidak lagi bisa dikerjakan meskipun statusnya hanya remote worker. Jadi sekalipun sekarng Ima mengambil pekerjaan remote, akan tetapi juga perlu memikirkan solusi ke depannya bagaimana.

    BalasHapus
  2. Kendala menjadi ibu rumah tangga plus freelancer a.k.a kerja secara remote memang adaaa aja ya. Aku beruntung karena memulai saat anak-anak udah usia belasan tahun. Tapi tetep sih ada kendala seperti mengatur waktu misalnya, karena fokus teralihkan, hehehe

    BalasHapus
  3. Saya kerja remote sejak 2017 Dan memang manajemen waktu itu penting banget buat freelancer kerja remote biar gak sampai harus begadang nyelesain deadline.

    Dan tantangan terberat kerja remote dari rumah tuh memang distraksi dari anggota keluarga. Ada saja yang bikin kita harus meninggalkan kerjaan karena harus membantu menyelesaikan kerjaan di rumah.

    Makanya pilihan waktu untuk saya bekerja di rumah adalah pas jam tidur siang Dan jam setelah orang rumah pada tidur di malam hari, di atas jam 9 malam sampai maksimal jam 12 malam.

    BalasHapus