Mengobservasi dan Mengenali Periode Sensitif Anak Usia Dini


Bulan September sepertinya menjadi bulan belajar parenting buat aku. Selain kegiatan perkuliahan Bunda Sayang Institut Ibu Profesional sudah dimulai, aku juga mengikuti workshop How to Create Montessori-Inspired Program at Home yang dimentori oleh montessorian ternama Bu Pritta Tyas dan Bu Damar Wijayanti via Zoom.

Jika kegiatan perkuliahan di IIP berlangsung selama 13 bulan, workshop montessori ini berlangsung selama satu bulan (ajah!) setiap Sabtu tanggal 12, 19, 26 September dan 3 Oktober 2020. Selama 4 pekan, aku bersama kurang lebih 49 ibu-ibu lain ber-zoom bersama selama 3 jam.


Rajin dan niat banget sih ikut-ikutan workshop sana-sini? Ada aja yang komentar begitu. Haha. Beberapa waktu belakangan, terutama setelah punya anak dan menemukan celah untuk berkegiatan lagi, aku mendapati diriku senang sekali kembali membaca buku seputar parenting dan mempelajari soal blogging.

Dua hal ini rasanya seru sekali untuk didalami dan tanpa dipaksa, dengan antusias, aku senang belajar tentang hal tersebut. Beda banget, guys, sama ketika sekolah dulu. Belajar matematika dan fisika terpaksa sampai otak ngebul hanya demi nilai melewati batas minimum. Fyuh~

Belajar tentang parenting membuatku bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat di keseharian bersama anak. Bisa berdiskusi dengan suami serta teman sesama ibu-ibu dengan toddler. Selain itu, aku jadi punya perspektif berbeda ketika mendapati anakku melakukan sesuatu yang kadang membuat kita heran akan tingkah lakunya. Aku jadi tau bahwa anakku sedang berada dalam fase apa dan bagaimana menanganinya, meskipun tentunya masih banyak kekurangan di mana-mana.


Pada pertemuan pertama workshop How to Create Montessori-Inspired Program at Home ada beberapa materi yang aku dapatkan, tentang Filosofi Montessori, Periode Sensitif Pada Anak Usia Dini dan Exercise of Practical Life.



Dalam tulisan ini, aku ingin berbagi tentang macam-macam periode sensitif pada anak usia dini, bagaimana mengobservasi serta mengenalinya.

Periode Sensitif Pada Anak Usia Dini

Banyak dari para orang tua termasuk diriku yang suka geregetan sendiri ketika anaknya suka sekali mengambil remahan-remahan yang tercecer di lantai, kemudian dimasukkannya ke dalam mulut. Hiyaaa~

Atau bertanya-tanya kenapa energi anak kita bagai tidak ada habisnya? Selalu aktif berlarian, memanjat, meloncat kesana kesini. Kalau diajak duduk diam membaca buku, tidak mau dan malah melengos pergi. Huft~

Lainnya adalah saat anak berlibur untuk mengunjungi rumah nenek atau sepupunya, ia jadi lebih bertingkah. Tidak mau nurut bahkan sering tantrum. What's wrong ya?!

Jawabannya adalah karena anak-anak pada fitrahnya memiliki periode sensitifnya masing-masing. Setiap anak itu unik, sehingga kapan periode sensitif itu muncul tidak sama antara satu anak dengan anak lain. Tugas orang tua adalah mengenali periode sensitif anak-anaknya untuk dapat memfasilitasi sebagaimana kebutuhan anak tersebut.

Ada 6 periode sensitif pada anak usia dini, yaitu :

1. Keteraturan

Periode ini biasanya dimulai sejak anak masih bayi. Anak-anak suka sekali dengan keteraturan, ritme kegiatan yang terjadi dalam fase-fase awal kehidupannya membuat mereka merasa aman dan nyaman.

Anak akan merasa kesal jika keteraturannya diusik. Misalnya, harusnya setelah mandi, anak akan bermain sepeda di luar rumah. Namun, karena harus pergi jadi kegiatan bermain sepeda ditiadakan di hari tersebut. Jangan heran jika anak akan menjadi badmood dan lebih sensitif dari biasanya, karena keteraturannya berubah.


Yang bisa orang tua lakukan untuk memenuhi periode sensitif terhadap keteraturan ini adalah membuat ritme kegiatan sehari-hari sehingga anak tau kegiatan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Kemudian menempatkan barang milik anak pada tempat tertentu sehingga ia tau dimana barangnya disimpan.

Setelah memahami adanya fase ini, kita sebagai orang tua harusnya bisa lebih maklum saat anak kecewa atau marah saat keteraturannya berubah.

2. Benda Kecil

Umumnya, anak berusia 18 bulan hingga 3 tahun berada dalam periode sensitif terhadap benda kecil. Ia akan suka mengamati detail kecil yang menurut kita, "Ngapain sih yang begitu diambilin?"

Semut yang berbaris, batu-batu kecil dari jalan, butiran beras yang jatuh, remah-remah kue yang tercecer bahkan serpihan debu rasanya tidak luput dari pandangannya. Hmm..

Cara memfasilitasi anak dengan periode sensitif ini adalah mengajaknya untuk mengamati detail dari suatu barang di rumah. Misalnya mengamati detail bunga, daun atau sarang laba-laba seperti yang aku dan anakku lakukan beberapa waktu lalu. Hehe.

3. Bergerak

Inilah jawaban ketika banyak orang tua menganggap anaknya tidak bisa diam, maunya lari-larian dan manjat-manjat terus. Mungkin anak-anak kita sedang berada di puncak sensitifitas terhadap gerak.

Periode ini dimulai sejak anak masih bayi loh. Ia akan mencoba mengembangkan kemampuan geraknya mulai yang awalnya hanya goler-goler saja, lalu berusaha membalikkan badan, kemudian glundang-glundung, merangkak, merambat hingga berjalan.

Setelah berjalan apakah itu akan berhenti? Tentu tidak. Anak-anak akan mengeksplorasi kemahiran geraknya dengan berlari, meloncat, memanjat dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan periode sensitifnya.

Bagaimana memfasilitasinya? Adalah dengan memberikan ruang gerak yang cukup baginya setiap hari. Misalnya dengan berjalan-jalan pagi atau sore hari ke taman, lalu biarkan ia berlarian disana. Ajak anak naik sepeda, sediakan trampolin untuk melompat, dan sebagainya.

Anak yang kebutuhan geraknya belum tercukupi akan menjadi susah untuk fokus dan berkonsentrasi. Jadi, saran yang bisa diberikan ketika anak sedang dalam periode sensitid terhadap gerak, puaskan dulu kebutuhan ia bergerak setelahnya ia baru bisa lebih kalem dan fokus.

4. Eksplorasi Sensorial

Menurut pengamatanku, anakku saat ini sedang berada di periode sensitif akan eksplorasi sensorial. Ketika ia diminta untuk menyendok pompom, ia lebih memilih menggunakan tangannya untuk memindahkan pompom dari satu wadah ke wadah lain.

Saat aku memintanya untuk menggunakan pinset untuk menjepit benda, ia pun hanya melakukannya beberapa kali dan lebih senang meraba, memegang hingga meremas benda tersebut. Binar matanya juga terlihat berbeda loh! Selain itu, ia juga tiba-tiba tertarik untuk mencium bau-bauan seperti wangi minyak telon dan body lotionnya.

Anak akan lebih cepat menyerap informasi saat inderanya bekerja. Ada kalimat yang ngena banget dari dr. Maria Montessori mengenai hal ini,

What the hand does, the mind remember

Jadi, untuk memfasilitasinya kita bisa mengajaknya melihat-lihat dan mengeksplorasi sekitar menggunakan inderanya. Misalnya, mengenalkan wujud asli buah naga. Meraba bagian luar kulitnya juga buahnya, mencium aromanya dan mencicipinya.

5. Sosial (Sopan santun)

Periode sensitif ini umumnya muncul saat anak berusia 2.5 tahun. Sebagai absorbent mind yang menyerap semuanya ke dalam otak, orang tua atau pengasuh harus benar-benar memberikan contoh yang baik untuk anak karena apa yang kita lakukan akan diserap dan suatu saat dipraktekkan kembali olehnya.

Anak tidak perlu diberikan teori tentang kesopanan panjang lebar karena ia akan meniru perilaku lingkungannya. Monkey see, monkey do. Sering dengar kalimat tersebut ya? Hehe. Sehingga, penting sekali membuat aturan (ground rules) yang baik baginya.

6. Bahasa

Biasanya anak baru bisa berbicara akan secara kontinyu mengeluarkan kata-kata baru yang sebenarnya telah ia dengar. Istilahnya akan ada fase ledakan bahasa dimana kemahirannya berbicara akan meningkat secara drastis. Nah, berarti anak-anak sedang dalam periode sensitif terhadap bahasa nih.

Untuk memfasilitasinya, kita bisa lebih sering mengajaknya ngobrol, bercerita, mendongeng, membacakan buku, menyebutkan kata-kata baru dengan bahasa yang benar (tidak dibuat-buat seperti anak kecil) dan memberikannya kesempatan berbicara.

Sedangkan ketertarikan untuk membaca dan menulis umumnya akan muncul di usia 3.5 tahun ke atas.

Cara Mengobservasi dan Mengenali Periode Sensitif Pada Anak Usia Dini

Setelah mengetahui keenam periode sensitif pada anak usia dini, orang tua perlu memahami sedang dalam periode sensitif apa anak-anaknya? Supaya kita lebih menghormati dan menghargai anak-anak.

Untuk melakukannya, orang tua dapat melakukan pengamatan atau observasi kegiatan sehari-hari yang dilakukan anak-anak. Saat melakukan observasi ini, kita cukup memfasilitasi anak kemudian mengamati apa yang anak kerjakan seperti menggunakan kamera.

Mengobservasi anak seperti menangkap momen menggunakan kamera

Lalu, kita bisa merekam atau mencatat dengan membuat narasi yang tanpa dibuat-buat. Dari sana, kita dapat menarik kesimpulan anak-anak kita sedang dalam periode sensitif yang mana.

Bu Pritta memberikan contoh anaknya yang sedang bermain jerami (jeramian) dengan menggunakan pinset. Ternyata, anaknya kurang tertarik memakai pinset dan memilih menggunakan jarinya untuk meremas lalu mengambil jerami satu per satu sampai akhirnya ia usapkan jerami-jerami tersebut ke wajahnya.

Dalam workshop kemarin, Bu Pritta juga mengatakan bahwa biasanya paling banyak anak akan ada dalam 2 puncak periode sensitif dalam satu waktu. Jika dari pengamatan masih mengambil kesimpulan ada 3 atau 4 periode sensitif anak, coba zoom kembali kamera kita untuk mengamati anak-anak.

Jika sebelumnya aku pernah membaca-baca mengenai periode sensitif ini pada beberapa buku yang aku miliki, setelah mendapat penjelasan dan contoh langsung rasanya pemahamanku lebih mendalam tentang materi ini.

Dengan mengetahui adanya periode-periode sensitif pada anak usia dini, aku mencoba untuk melihat anakku dari sudut pandangnya. Mencoba memahami apa yang sedang ia sangat butuh untuk dipenuhi dan belajar bagaimana caranya bereksplorasi.

Semoga informasinya bermanfaat!

Sukabumi, 18 September 2020

Posting Komentar

1 Komentar