Skill yang Bikin Tulisan Tetap Bernilai di Tengah Gempuran AI

Penulis di Era AI

Mae frens, kerasa nggak sih di era AI seperti saat ini, rasanya semua orang jadi bisa dengan mudahnya membuat konten. Baik itu artikel di website hingga di berbagai laman media sosial, ya IG, TikTok, YouTube, sampai LinkedIn. Sekarang siapa pun bisa bikin tulisan rapi dan cepat hanya dengan beberapa prompt aja.

Saya juga pakai AI nih supaya waktu kerja lebih efisien. Ya untuk brainstorming, bikin outline, sampai proofreading. Selama saya menjalani dunia blogging dan terus mengasah skill content writing melalui blog, saya melihat bahwa tulisan yang benar-benar sampai ke pembaca itu adalah tulisan yang punya sentuhan manusia.

Sebagai penulis, tentu lah ya kita sering main atau berkunjung ke blog teman-teman blogger lain, baca-baca tulisan di media sosial untuk sekadar cari inspirasi. Semakin banyak baca, semakin mudah juga mengidentifikasi mana tulisan yang dipersonalisasi lagi oleh si penulis, dan mana yang pure AI. Sobat blogger nyadar juga nggak sih? Wkwk..

Sekarang tools kayak ChatGPT, Notion AI, atau Jasper bisa banget buat bantu bikin ide, nyusun kalimat, bahkan nulis artikel lengkap dan hanya dalam hitungan menit. Keren banget kan? Lalu, apakah iya pekerjaan penulis akan sepenuhnya tergantikan oleh AI?


Dari job post yang saya lihat di banyak platform freelancer, nyatanya masih banyak lho yang mencari penulis yang nggak AI oriented. Nah, dari sana bisa dilihat kalau pembaca itu akan tetap mencari hal yang nggak bisa (at least belum bisa) digantikan mesin yaitu rasa manusia. Mulai dari cerita, opini, emosi, dan pengalaman pribadi. Hal-hal yang ternyata bikin tulisan terasa “hidup”.

That's why, menurut saya, justru sekarang adalah waktu yang pas buat para penulis (termasuk blogger), untuk mengembangkan skill yang bikin tulisan kita tetap bernilai.

Bukan untuk saingan sama AI, tapi buat berkolaborasi dengan teknologi sambil tetap menunjukkan sisi humanis kita di setiap kata. Nah, di artikel ini saya mau bahas beberapa skill yang bisa membantu tulisan kita tetap relevan dan eyecatching di tengah buanyaknya tulisan-tulisan AI.

Yuk, kita bahas bareng!

Riset yang Tajam dan Relevan

Di awal-awal menekuni blogging, saya nulis sih nulis aja ya. Nggak mikir macam-macam, yang penting apa yang mau saya sampaikan ya tersampaikanlah. Eh makin ke sini, makin ngerasa kurang aja gitu kalau saya nulis tanpa riset dulu. Nulis tanpa riset jadi ngerasa sotoy banget gue!

Heleh ngapain ribet-ribet riset? Kan sekarang AI udah bisa juga nyari data atau ngerangkum informasi dari banyak sumber! Ya bener sih, tapi riset yang bener-bener “tajam” itu datangnya dari keingintahuan dan kepekaan kita sebagai manusia.

Misalnya, waktu saya nulis artikel tentang kerja remote, saya nggak cuma baca data atau informasi dari website lain, tapi juga ngobrol sama teman-teman freelancer di komunitas, dengerin pengalaman mereka, dan ngerasain sendiri gimana rasanya kerja dari rumah. Dari situ, tulisannya jadi lebih real dan relatable.

Jadi, nggak apa-apa minta bantuan AI untuk ngumpulin data, tapi tetap kroscek lagi dan konteksnya hanya kita sebagai penulis yang bisa ngerasain. Inilah yang membuat tulisan kita punya nilai lebih dibanding hasil generate dari AI.

Pertahankan Storytelling

Salah satu strength point dari seorang blogger adalah kemampuannya untuk menceritakan ulang pengalaman yang pernah mereka alami sendiri. Menurut saya, inilah salah satu alasan banyak pengguna dari mesin pencari masih membaca blog.

Mungkin dengan menulis menggunakan AI, kita bisa dengan mudah menghasilkan artikel yang rapi dan terstruktur, memudahkan audience untuk membaca dan memahami isi artikel kita. Akan tetapi, AI jarang sekali membuat audience ngomong, "Wah, iya banget nih!" atau "Iihh.. Sama deh, aku juga lagi ngerasain gini nih!".

Tulisan yang hidup itu bukan dari struktur atau kata-kata yang dirangkai secara manis, tapi justru yang punya rasa dan pengalaman pribadi di baliknya. Sebut saja seorang food blogger yang gemar menulis pengalamannya mencicipi kuliner unik di berbagai tempat wisata yang pernah ia kunjungi.

AI jelas bisa mendeskripsikan seperti apa makanannya, bahan-bahan, hingga asal usulnya. Nah, yang dicari pembaca bukan hanya deskripsinya aja, frens. Mereka mau tau gimana rasanya ketika si food blogger benar-benar mencicipi makanan tersebut.

Rasa manis, gurih, lembutnya, aroma yang tercium ketika piring pertama kali disajikan, sensasi kriuk atau ekspresi spontan yang muncul ketika food blogger tadi menemukan rasa unik yang sulit dideskripsikan. Hal-hal kecil tapi esensial ini yang bikin audience setia membaca artikel di blog.

Jadi, kalau ingin tulisan kita punya value lebih di era AI, terus latihan dan pertahankan kemampuan storytelling. Ceritakan pengalaman pribadi, kasih contoh yang relate sama orang lain, atau sisipin jokes yang kita banget.

Gaya Menulis yang Personal dan Otentik

Pertama kali saya comeback menulis blog setelah hiatus bertahun-tahun, saya banyak membaca referensi dari blogger-blogger senior. Eh, Mbak ini gaya menulisnya asyik juga, Kak itu style-nya oke nih.. Saya pun meng-ATM style menulis mereka.

Mindset saya dulu gimana caranya terlihat profesional padahal masih pemula! Wkwk.. Usaha banget yekaann.. Lama-lama, baca tulisan sendiri jadi kayak nggak jadi diri sendiri. Hmm.. Niatnya di awal kan nulis itu sebagai katarsis buat release stress ya, kok malah jadi bikin kepikiran kurang ini itu, nggak sekeren blogger A atau B?!

Demikian pula di era AI sekarang ini. AI bisa bikin tulisan rapi, seragam dan mulus banget, tapi buat yang sering baca dan nulis, jenuh nggak sih baca artikel yang AI banget?

"Dulu aku pikir..., ternyata ..."

"Awalnya ..., tapi lama-lama aku sadar ..."

Et cetra, you name it lah! Haha..

Padahal cara kita memilih kata, merangkainya jadi satu kalimat, menyisipkan candaan di dalamnya, menceritakan hal-hal kecil, saya yakin tiap penulis itu beda-beda. Punya ciri khas tersendiri yang menarik di mata pembacanya masing-masing.


Ngerti sih, kadang ngerasa nggak PD sama tulisan sendiri. Takut jelek, salah dalam pemilihan kata, nggak menarik dan rapi seperti tulisan AI, tapi justru dari sana kita bisa belajar gimana cara menulis yang lebih baik lagi.

Menurut saya, menemukan voice dalam tulisan sendiri itu penting banget. Nggak mesti perfect nggak apa-apa, yang penting tetap jadi diri sendiri.

Adaptif dan Melek Teknologi

Saya nggak bilang AI itu jelek, frens. Justru bagus banget kalau kita lihat dari sisi perkembangan teknologi. Sekarang banyak banget tools yang bisa bantu kita nulis lebih cepat, nyusun ide lebih rapi, sampai ngecek grammar dan SEO dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Buat manusia yang waktu dan energinya terbatas, pastinya ini berkah yang sangat besar! Di sisi lain, penggunaan AI ini harus dilakukan dengan bijak. Jangan sampai karena semua bisa dibantu mesin, kita justru kehilangan personal touch-nya.

Tulisan yang sepenuhnya hasil AI mungkin rapi dan informatif, tapi udah pasti "dingin" dan "anyep", sering kali nggak ada feel-nya.

Satu lagi yang kita sebagai penulis harus ingat adalah AI di tangan orang yang tepat hasilnya akan jauh berbeda. Penulis yang udah terbiasa nulis, ngerti struktur, paham gaya bahasa, dan tahu cara bercerita, kalau pakai AI hasilnya bisa luar biasa.


AI bisa jadi asisten yang membantu merapikan ide dan mempercepat proses, tapi arah dan ambience dari tulisannya tetap dikendalikan sama si penulisnya. Beda dengan orang yang jarang nulis dan langsung bergantung ke AI, hasilnya ya akan terasa kaku, datar dan cenderung membosankan (in my opinion ya..).

Makanya kenapa masih penting banget nih untuk para penulis yang live in the age of AI buat tetap mengasah skill menulis manualnya, sembari memanfaatkan teknologi supaya bisa "ngobrol" sama AI dengan lebih efektif.

In This AI Era, Your Voice Still Matters

Suka nggak suka, sekarang kita sudah hidup di zaman AI. Saya sih suka-suka aja. Wkwk.. Jadi, dari pada takut sama AI, takut pekerjaan kita sebagai penulis hilang gara-gara AI, lebih baik kita belajar supaya bisa jalan bareng sama dia.

Pakai AI sebagai alat bantu, tapi tetap kita yang pegang kendali. AI bisa nulis ribuan kata, tapi cuma penulis itu sendiri yang bisa bikin pembaca ngerasa, “Wah, tulisannya ngena banget nih!".

Menurut Mae frens, kira-kira skill apa lagi ya yang bikin tulisan kita tetap punya value lebih di tengah gempuran AI ini? Share yuk di kolom komentar!

Posting Komentar

0 Komentar