5 Pilar Support System yang Wajib Dimiliki Ibu Agar Jauh dari Lelah Mental!

5 Pilar Support System yang Wajib Dimiliki Ibu

Menghadapi dua anak dengan tingkat keaktifan yang masyaAllah semua, sering kali membuat hari-hari di mana semuanya berjalan serba salah! Adek lagi makan pengen kabur terus dari baby chair-nya, kakak minta ditemani bermain, sementara deadline pekerjaan terus mengejar.

Saya yang berdiri di tengah pusaran semua itu sering kali mau menangis atau... kabur sebentar! Ke mana kek, 1 jam, 2 jam, seharian juga boleh untuk sekadar melepas penat. Please, kalian juga pernah ngerasain kan? Bukan saya aja yang ngerasa kayak gini? (Nyari temen banget niihh? Hehe..)

Oke, saya sudah hafal banget sama saran klasik setiap kali merasa lelah. "Coba self-care, deh," atau "Harus pinter-pinter cari me-time sendiri."

Udah, gais! Memang setelah melakukan saran-saran klasik tadi, rasanya a little bit better, tapi ketika balik lagi ke rutinitas yang itu lagi itu lagi, kok ya perasaan kewalahan itu tetep kembali dan rasanya tetep pengen kabur? Haha!

Awalnya saya merasa ada yang salah sama diri sendiri. Kurang vitamin kah? Imannya lagi lemah? Kurang healing? Atau emang saya aja yang kurang strong nih menjalani hari-hari? Kok rasanya mental health mom saya dibantai habis-habisan belakangan ini? Padahal sudah 8 bulan lho, jadi ibu dari 2 anak.

Sampai akhirnya, waktu me time membawa saya pada sebuah bacaan mengenai Teori Ecological System (Bronfenbrenner) tentang sebuah kerangka teoritis yang membantu saya lebih memahami bagaimana mengorganisir kompleksitas lingkungan hidup tempat seorang individu (dalam kasus ini, saya sebagai seorang ibu tentunya).

Teori ini bukanlah teori menciptakan konsep support system. Akan tetapi memberikan "peta" yang sangat berguna untuk menunjukkan bahwa support system itu memang datang dari berbagai lapisan lingkungan. Ternyata, support system ini datangnya mulai dari yang terdekat seperti keluarga, hingga yang paling luas seperti kebijakan pemerintah. Duh, gerah lagi nih nyinggung kebijakan pemerintah --"

Lah, panjang ya opening artikelnya? Wkwk. Jadi intinya, perasaan yang saya yakin dirasakan oleh banyak ibu, yakni, "Capek banget menanggung beban ini sendirian," itu wajar banget. Namun, yang salah adalah ekspektasi bahwa kita harus bisa menanggungnya sendirian.


Bukan kita yang kurang strong, tapi memang kita butuh support system dari berbagai lapisan. Nah, dalam artikel ini, saya mau share 5 pilar support system yang wajib kita, sebagai ibu-ibu, punya biar nggak terus-terusan merasa lelah sendiri. Yuk bahas!

1. Support dari Pasangan

Kita mulai dari pilar yang paling utama yaitu pasangan. Support dari pasangan ini nggak hanya sekadar dia mau gantian gendong bayi pas kita lagi meeting Zoom atau sesekali nyuci piring. Konsepnya lebih dalam dari itu, di mana sebenarnya pasangan ini merupakan part of the system, tentang pasangan dan kita menjadi tim yang solid.

Jadi, nggak ada cerita tuh boss dan helper, istilah keren jaman now-nya sih, "We’re in this together".

Persoalannya, sering kali kita (para ibu) terjebak dalam pola mental load di mana selalu ibu yang jadi project manager rumah tangga. Ibu yang bertugas atau dibebankan peran untuk mengatur segalanya, sementara pasangan cuma nunggu dikasih komando untuk mengerjakan tugas.

Akhirnya, yang sering terjadi adalah ibu merasa lelah bukan hanya fisik, tapi juga lelah mikir. “Temen sekolah kakak besok ulang tahun, mau dikadoin apa ya? Beli di mana dan budget berapa ya?”, “Pampers adek udah mau abis. Mending beli sekarang apa besok aja ya?”, “Beras kayaknya udah mau abis, gas ama tissue juga, galon juga udah tinggal dikit. Kalo semua dibeli, nanti cukup nggak uangnya buat keperluan yang lain?” sembari berhitung dalam hati.

Semuaa dipikirin sama ibu dan sebagian besar tentu dikerjakan oleh ibu juga. Gimana nggak mbledug sewaktu-waktu? Buat yang masih punya pasangan, solusinya jelas, komunikasikan dan berani set expectations

Ganti kalimat, “Coba dong aku dibantu!” dengan “Papah, kayaknya kita perlu bagi tugas, deh. Nggak bisa kalau semua kerjaan rumah tangga aku yang mikir dan kerjain..”

Jadi, ada tugas-tugas utama yang dikerjakan suami sebagai bapak dan istri sebagai ibu di rumah tangga. Sehingga, intinya pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama. When we truly become partners, the load feels so much lighter.

2. Support dari Keluarga Besar

Pilar kedua yang akan kita bahas adalah dukungan dari keluarga besar. Pilar yang satu ini bisa dibilang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, keluarga besar bisa jadi penyelamat di saat darurat, tapi di sisi lain, bisa juga jadi sumber stress tambahan. Iya apa betul? Wkwk.

Konsep idealnya sih, keluarga besar entah itu orang tua, mertua, atau saudara, bisa jadi backup squad untuk diandalkan. Punya ibu atau mertua yang bisa jagain anak sebentar saat kita harus ke dokter, atau adik yang bisa diajak curhat tanpa nge-judge itu privilege banget. Semua bantuan mereka benar-benar bisa bikin beban terasa jauh lebih ringan.

Namun kenyataannya, seringkali ada unsolicited advice atau saran yang nggak diminta tentang pola asuh, komentar yang justru bikin mom guilt seperti membandingkan anak-anak boomers dengan gen-Z, dan perbedaan gaya parenting zaman dulu vs lifestyle ibu millenial yang bikin ibu-ibu mending ngurus semua sendiri.

Dari pada tambah stress, merasa di-judge dan nambahin beban pikiran, mending melipir, menghindar dan menyimpan semua masalah demi menjaga mental health dan keharmonisan keluarga besar. Sad banget!

Berhubung keluarga besar merupakan salah satu layer dari support system, ada baiknya kita yang membuat batasan dan komunikasikan dengan jelas. Biarpun saya yakin sulit banget, terutama untuk yang masih tinggal bareng keluarga besar baik dari pihak sendiri maupun pihak suami, namun ini penting banget.

Coba untuk membuat batasan, saran-saran apa saja yang akan diterima, dipikirkan dan ditolak. Komunikasikan secara baik-baik apakah kita akan menerima saran tersebut, atau menolaknya dengan pertimbangan sendiri. Dengan demikian, ekspektasi jadi jelas, rasa hormat terjaga, dan hubungan dengan keluraga besar pun bisa tetap hangat. Remember, Mae frens, keluarga adalah support system, bukan stress system.

3. Support dari Komunitas / Sesama Ibu

Kalau tadi kita membahas soal keluarga yang sudah dipilihkan Tuhan, di poin ketiga ini kita akan membahas keluarga atau circle yang kita pilih sendiri. Our tribe. Sebagai ibu yang hidup di zaman modern, kita bisa banget memilih untuk hanya berteman dengan orang-orang yang memberikan vibes positif dalam hidup.

Komunitas atau teman-teman yang positif ini bisa menjadi safe place, di mana para ibu bisa bercerita mengenai segala hal tanpa takut dihakimi. Bisa cerita tentang bagaimana riweuh-nya mengurus newborn, rumah yang berantakan, hingga kebingungan mau masak apa di hari itu?

Sederhana tapi powerful banget untuk sedikit melegakan hati dan pikiran lelah para ibu. Lagi-lagi sih ya, nggak semua komunitas atau circle pertemanan itu sehat. Banyak juga sesama ibu yang bukannya mom-support-mom, malah saling mom-shamming. Ada juga perempuan-perempuan yang justru memojokkan sesama teman perempuannya.


Kalau ibunya sensitif, berteman di lingkungan seperti itu bisa membuat diri sendiri merasa baper, overthinking, atau jadi menyalahkan diri sendiri seperti ucapan lingkungannya. Bukannya keluar dari lubang buaya, malah jadi masuk kandang macan. Tambah capek lah fisik dan mental. Hiks..

Solusinya mudah aja, curated your circle! Kalau dulu orang tua saya berpesan untuk jangan milih-milih teman, justru sekarang saya sadar bahwa memilih circle pertemanan itu penting banget. Harus dilakukan dengan sadar dan cerdas. 

Selain itu, posisikan juga diri sendiri untuk menjadi teman yang supportive. Sehingga bersama komunitas dan teman-teman sesama ibu kita bisa saling mengisi dan memberi inspirasi.

4. Support dari Lingkungan Kerja / Kebijakan

Tiga pilar sebelumnya adalah tentang orang-orang di sekitar kita. Nah, pilar keempat ini tentang struktur yang (seharusnya) memudahkan hidup kita. Support dari lingkungan kerja atau kebijakan pemerintah ini adalah tentang mengakui bahwa kesehatan mental ibu juga dipengaruhi sama lingkungan kerja dan kebijakan yang ada.

Masalahnya, dunia seringkali terasa belum mengerti sama kompleksnya jadi ibu. Di tempat kerja, atasannya masih ada yang nggak fleksibel, hingga masih buanyak budaya hustle culture yang mengagungkan kerja lembur (bukan hanya ibu yang perlu pulang cepat, bapaknya juga, hey!).

Selain itu, masih banyak pula stigma negatif terhadap ibu bekerja yang sedang hamil, punya anak kecil atau bahkan berencana menikah dalam waktu dekat. Di sisi lain, hak-hak dasar seperti daycare yang terjangkau, ruang laktasi dan nursery room atau family room di ruang publik nggak tersedia di banyak tempat.

Saya nggak bisa bahas banyak soal ini karena bukan Yang Mulia Pemangku Kebijakan. Namun, tentu boleh dong berharap bahwa kebijakan yang akan datang bisa ikut meringankan beban mental dan pikiran yang seringkali lebih condong ke para ibu dalam hal pengasuhan anak. Remember, it takes a village to raise a child, right?

5. Support Profesional

Saat badan kita sakit flu berat maka kita akan pergi ke dokter, saat beban mental kita terasa terlalu berat dan mulai mengganggu hidup, kita pun perlu “dokter” untuk menangani masalah ini. Support dari profesional ini ternyata masuk loh dalam 5 pilar support system yang wajib dimiliki ibu untuk menjaga mental health-nya.

Sad but truth-nya, para ibu seringkali merasa dan berpikir, "Ah, masa kayak ini aja harus ke Psikolog? Gue aja kali yang lebay, masalah sepele nggak usah dibesar-besarin.." Padahal bisa jadi memang masalahnya sudah besar *cryT_T

Alhamdulillah-nya, sudah banyak juga ibu-ibu yang lebih aware dengan kesehatan mentalnya. Mereka mencari me time, menekuni hobi, menulis jurnal dan mengikuti berbagai kelas kesehatan mental. Udah nggak tabu juga kalau seorang ibu meminta bantuan profesional ketika rasa lelah atau sedih berlangsung berkepanjangan.

Untuk yang masih denial, yuk belajar mengakui bahwa nggak apa-apa banget kalau kita memang butuh bantuan profesional. It’s not a sign of failure but it’s a profound act of self-love and strength for ourselves and our family.


Setelah membaca teori di atas, saya pun merasa lega kalau memang mental load pengasuhan ini harusnya nggak gue sendiri yang nanggung! Nggak usah sok jadi Wonder Woman karena memang bukan dan nggak mau juga, sih. Saya butuh dibantu dari berbagai pilar supaya tetap waras dan bahagia. Wkwk.

Yaa memang perjalanan setiap ibu itu unik dan nggak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi kita semua (sebagai ibu) pantas untuk merasa ringan dan didukung. Hmm.. Jadi penasaran nih, dari kelima pilar di atas, mana yang sudah cukup kuat dalam hidup kalian, dan pilar mana sih yang paling ingin kalian perkuat lagi? Cerita-cerita di kolom komentar, yuk!

Posting Komentar

0 Komentar