Melatih Kepercayaan Diri dan Keberanian Anak Usia Dini

melatih-kepercayaan-diri-anak

Belakangan ini, saya merasa semakin kewalahan membersamai anak saya yang tingkah lakunya semakin "Wow!". Makin banyak inhale-exhale dan makin sering juga sumbu memendek. Haha :'(

Saya sampai berpikir untuk segera membawa anak saya ke psikolog anak untuk memeriksakan perilakunya yang bagi saya sungguh menantang dan menguji iman serta kesabaran.

Di antara perilaku-perilaku menantangnya, yang membuat saya paling insecure adalah ketika anak saya nggak takut sama apa-apa. Terlalu pemberani dan sangat percaya diri. Lah, kok malah insecure?

Bayangkan anak saya sangat ramah dan friendly pada siapapun, bahkan berani untuk nyamperin dan nyapa orang yang baru saja ditemuinya. Bukan hanya itu, Parents, anak saya juga nggak takut untuk ikut pergi sama orang yang baru ditemuinya. Nah, loh!

Jika dilarang, nggak jarang tantrumnya muncul dan kekeuh mau ikut pergi dengan orang tersebut. Padahal kang paket atau om pengantar makanan.

Selain itu, anak saya juga nggak ragu untuk memegang langsung pakai tangan hewan-hewan berbahaya seperti laba-laba besar, kecoak, ulat bulu hingga ular.

Pengalaman kemarin, anak saya dengan santuynya bermain bersama ular peliharaan tetangga. Ya emang udah jinak, sih. Tapi mindset yang terbentuk dalam diri anak saya jadinya semua ular itu baik :')


Memang dari yang saya perhatikan, sepertinya kebutuhan anak saya untuk bersosialisasi sangat besar. Saya pun mengiyakan anak saya jika ingin bermain di rumah tetangga bahkan mendaftarkannya ke sekolah PAUD / Play Group.

Hasil Observasi di Sekolah

Bulan depan, anak saya akan masuk sekolah. Beberapa minggu lalu, anak saya diminta datang ke sekolah untuk diobservasi kemampuannya oleh guru dan psikolog anak di sana.

Alhamdulillah, sebelum saya bawa sendiri ke psikolog, eh anaknya sudah dapat fasilitas dari sekolah. Hehe.

Saat kembali bertemu dengan gurunya, beliau bertanya pada saya...

Ibu, gimana cara ibu mendidik anaknya supaya jadi pemberani dan percaya diri?

Rupanya, hasil tes IQ anak saya menunjukkan nilai yang cukup tinggi sehingga digolongkan ke dalam kategori cerdas. Anak saya pun dinilai mandiri dan percaya diri untuk anak seusianya.

Dia bahkan tidak ragu untuk bernyanyi dalam bahasa Inggris di mana teman-temannya menyanyi bahasa Indonesia dan tidak ragu bergaul dengan anak-anak yang usianya di atasnya, seperti kelompok TK.

Sementara anak-anak lain meminta orang tuanya untuk mendampingi selama observasi, anak saya santuy banget ikut-ikutan ngatur anak orang kayak gurunya bahkan ikut mensupport ketika ada temannya yang tidak berani mengikuti instruksi. Haha!

Anak saya juga dinilai sudah bisa mengikuti aktivitas yang biasa dilakukan di kelas TK. Akan tetapi, memang ada perbedaan rentang konsentrasi antara anak saya dengan anak-anak dengan usia lebih besar.

Mendengar dan melihat hasil observasinya, saya nggak heran sih kenapa kelakuannya begitu amazing. Mungkin karena kebutuhan eksplorasinya sangat besar, namun saya belum bisa memenuhi semua kebutuhan dasarnya.

Saya terharu juga mendengar hasil observasi anak saya yang masya Allah, Allahu Akbar! Nggak nyangka bisa sebaik itu untuk usianya yang masih pitik.

Arahan dari sekolahnya adalah tetap mendampingi anak saya dan terus menerus mengingatkan mana yang boleh-tidak boleh, benar-salah, baik-buruk.

Memang saat ini usianya masih 3 tahun, belum bisa secara penuh membedakan mana yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Hampir semua yang dilakukan masih secara impulsif.

Hopefully someday, anak saya nggak asal mau ikut sama orang lain.

Komentar Orang Tua Murid Lain

Di lain hari, saya dan anak saya kembali ke sekolah untuk mengambil seragam. Di sana, anak saya bermain di playground bersama dengan anak-anak lain yang juga sedang bermain. Mereka adalah kelompok anak-anak SD kelas 1 yang sedang latihan untuk acara perpisahan sekolah.

Seperti biasa, anak saya PD aja gabung sama kakak-kakak tersebut. Ia ikutan main perosotan yang mana model perosotannya itu seperti rumah pohon, jadi tinggi gitu naiknya. Tak ragu juga untuk ikutan main pasir dan bergantungan di besi panjat serta berpusing ria di mangkok putar.

Saya sendiri nyerah deh berusaha untuk dekat-dekat dengannya karena arahannya adalah, "Mamah di sana aja, Dipta main sama teman dulu ya..." tunjuknya pada bangku yang ada di playground sekolah.

Saya pun hanya memantaunya dari kejauhan dan menolongnya ketika ia memang membutuhkan bantuan. Was-was sih sebenarnya melihat dia manjat bersama kakak-kakak yang skill-nya tentu sudah jauh di atasnya, sementara ia mencoba meniru mereka.

Ibu dari salah satu anak yang bermain bersama saya lalu berkata, "Mbak, anaknya pemberani banget ya. Berapa umurnya?"

"Hehe," aja jawaban saya sambil melanjutkan menjawab usia anak saya.

"Jarang loh anak kecil gitu mau main perosotan itu sama panjat-panjatan gitu," komentarnya dan saya balas dengan senyum di balik masker.

"Kadang saya malah takut, Bu, karena anaknya nggak takutan gitu..." Loh! Saya malah jadi curhat. Kesempatan. Haha.

"Tapi kelihatan anaknya percaya diri, tuh. Di rumah diajarin gimana?" Another same question seperti yang ditanyakan oleh ibu Kepala Sekolahnya.

Cara Melatih Anak untuk Lebih Percaya Diri

Dua pertanyaan tersebut membuat saya jadi berefleksi kembali, apa yang membuat anak saya akhirnya tumbuh dengan tingkat percaya diri yang begitu tinggi? Membuatnya jadi anak yang pemberani dan tidak takut mencoba hal-hal baru?

Bagi sebagian orang mungkin karakter anak saya ini adalah sebuah kelebihan yang diinginkan oleh banyak orang tua untuk anaknya. Akan tetapi, bagi saya ini seperti dua sisi yang berlawanan. Satu sisi saya senang dengan karakter anak saya, satu sisi lainnya membuat saya super duper cemas.

Setelah saya telaah kembali, sepertinya kebiasaan di bawah inilah yang menumbuhkan rasa percaya diri dan berani pada anak saya. Mungkin parents yang membutuhkan tipsnya bisa membaca dan mencoba untuk mempraktikkannya :

tips-percaya-diri-dan-berani-untuk-anak

1. Melibatkan Anak dalam Aktivitas Harian

Sejak anak saya kecil, saya selalu berusaha untuk melibatkannya dalam setiap aktivitas harian yang saya kerjakan.

Mulai dari membereskan tempat tidur, memasak, menyapu, ngepel rumah hingga ikut membantu papanya mencuci motor dan memasang galon.

Pasalnya, I have no one di rumah kecuali anak saya, jika suami berangkat kerja. Oleh karenanya, saya mengajak dia untuk menjadi partner saya dalam mengerjakan pekerjaan rumah.

Membiasakan anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sangat bermanfaat untuk melatih kemandirian serta rasa percaya dirinya.

2. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Mencoba

Menyelesaikan pekerjaan rumah bersama toddler bukan hal yang mudah, sih! Saya inget banget kalau ganti sprei itu bisa keringetan kayak habis ngerjain pekerjaan berat apaaa gitu. lol!

Tapi, memberikan kesempatan pada anak untuk mencoba berbagai aktivitas akan membantunya untuk mengeksplorasi diri dan membuatnya merasa kehadirannya dibutuhkan oleh orang tuanya.

Banyak sekali hal yang bisa dipelajari dari satu aktivitas. Misalnya saja dari kegiatan menjemur pakaian. Dari sana, anak bisa melatih koordinasi mata dengan tangannya, melatih kekuatan otot tangannya, mengatur jarak antara satu pakaian ke pakaian lain dan menanamkan bahwa pekerjaan rumah bukan hanya pekerjaan ibu semata. Iya kan? Iya dong! :)

Pada saat anak berhasil menyelesaikan satu misi atau kegiatan, akan ada rasa senang dan kepuasan dari dalam dirinya. Anak juga merasa orang tuanya percaya bahwa ia bisa melakukan kegiatan yang sama seperti yang orang tuanya lakukan. Rasa percaya dirinya pun akan meningkat.

3. Menahan Diri untuk Tidak Menginterupsi

Salah satu part tersulit dalam mengajak anak bekerja bersama (saya) adalah untuk tidak selalu menginterupsinya.

Kebayang dong kalau lagi ngepel lantai, dia belum bisa memeras dengan sempurna kain pelnya dan seluruh lantai basah kuyup :') Sulit memang menahan diri untuk berkata, "Duuh, yang itu kan udah dipel..." atau "Tuh kan, kamu tuh belum bisa meresnya. Nih, jadi basah semua..."

Hamdallahnya, saya selalu mengingat kalimat Maria Montessori yaitu,

Teach by teaching not by correcting,
-Maria Montessori

Hasilnya, saya menahan diri untuk menginterupsi anak saya serta melontarkan komentar yang bisa membuat hatinya terluka dan malah menurunkan rasa percaya dirinya.

Saya memilih untuk memberikannya contoh berulang-ulang dalam melakukan sesuatu hingga ia bisa mengikutinya dengan baik dan benar, meski tidak sempurna.

4. Tidak Menakut-nakuti Anak

Berhubung saya penakut, saya nggak mau anak saya jadi penakut seperti saya. Saya tidak pernah memberikan isyarat atau komentar yang membuat ia takut gelap, petir atau hewan-hewan yang saya takutkan seperti kecoak atau cacing atau ulat.

Saya paham bahwa takut adalah salah satu bentuk emosi, saya pun memvalidasi emosi anak saya ketika tiba-tiba mati lampu lalu ia kaget dan menangis berteriak memanggil saya.


Kamu tadi kaget ya waktu pertama mati lampu? Terus takut karena Mama nggak kelihatan? Nggak apa-apa, Mama juga awalnya takut soalnya nggak bisa lihat kamu. Tapi habis ketemu kamu, Mama jadi nggak takut lagi. Kamu masih takut nggak habis ketemu Mama?

Dengan berkata seperti itu, saya percaya anak saya akan merasa lebih baik karena ia tau kalau ia tidak ketakutan sendiri. Ia punya saya yang menemaninya melewati rasa takut tersebut.

5. Tidak Memaksa Anak Mencoba

Suatu ketika, saya bersama anak dan suami pergi berkunjung ke pantai. Anak saya terlihat sangat antusias dan buru-buru ingin berenang di pantai.

Tetapi, setibanya di bibir pantai ia takut untuk menyentuh air laut karena tiba-tiba ada ombak yang datang. Ia pun melipir-melipir dan bermain di pasir yang tak terjangkau oleh ombak.

Beberapa kali papanya membujuk agar ia mau bergabung bersama papa untuk main air. Anak saya tetap menolak.

Nggak apa-apa kalau kamu masih belum mau main air. Mama temenin main pasir ya, kalau sudah berani nyoba main air nanti bisa datangi papa :)

Beberapa waktu kemudian, ketika ia sudah bosan main pasir, ia pun menghampiri papanya untuk bermain air bersama. Mulai dari pinggir-pinggir, nggak berani basah celananya hingga basah dari ujung kaki ke kepala.

Kebayang kalau saya dan papanya memaksa anak saya untuk berani dengan mengatakan hal-hal seperti, "Masa gitu aja takut?" atau "Ayo dong! Kan tadi kamu yang semangat mau main air di laut?", yang ada anak saya semakin ketakutan dan experience yang diterimanya pun jadi tidak menyenangkan.

6. Mengapresiasi Proses dan Usaha

Tips terakhir adalah selalu mengapresiasi setiap proses dan usaha yang telah dilakukan anak.

Contoh kasusnya adalah ketika pertama kali anak saya potong rambut di tukang cukur alias barber shop. Terlihat raut wajahnya yang cemas dan tegang, namun ia memberanikan diri untuk potong rambut kayak papa (di barber shop).

Usianya saat itu masih 2 tahun lebih sedikit. Waktu itu saya sudah mempersiapkan diri kalau-kalau anak saya ngamuk dan menangis heboh saat rambutnya dicukur.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya, anak saya bisa mengendalikan rasa takutnya dan melewati proses cukur rambut dengan tenang (dan tetap tegang).

Yang saya dan papanya lakukan adalah terus memvalidasi perasaannya. Saya katakan kalau saya tau ini pengalaman pertama cukur rambut, pasti kamu khawatir. Papanya juga mencoba menenangkan anak saya dengan memangku dan memegang tangannya (sesuai keinginan anak saya) untuk membuatnya merasa lebih tenang.

Setelahnya, kami mengapresiasi proses dan usahanya yang tetap melewati proses cukur rambut meskipun dalam hatinya gelisah dan ada perasaan takut. Akan tetapi, ia bisa melaluinya dengan sangat baik. Validasi lagi perasaannya dengan mengatakan dia pasti lega dan bangga karena sudah berhasil cukur rambut di barber shop.

Masih Berproses untuk Berprogress

Hingga hari ini, saya juga masih berproses untuk selalu menanamkan karakter-karakter baik dalam dirinya. Saya yakin semua orang tua pun demikian.

Apa yang saya ceritakan ini adalah murni karena saya ingin berbagi untuk orang tua yang mungkin sedang cemas karena anaknya belum berani mencoba atau masih takut akan banyak hal.

Memiliki anak dengan rasa percaya diri yang tinggi dan keberanian yang besar memang suatu anugerah dari Tuhan, sekaligus ujian untuk kedua orang tuanya untuk selalu mengarahkan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan.

Semoga Allah swt. mudahkan kita para orang tua untuk mendampingi anak-anak agar selalu berada di jalur yang baik.

Sukabumi, 27 Juni 2022

Posting Komentar

17 Komentar

  1. Ahhhh, cara2nya bisa aku coba nih mba. Anak2ku sedikit pemalu. Memang sih lama kelamaan mereka mau melakukan seperti yg diminta. Tapi butuh waktu dan hrs ada dorongan.

    Yg begini memang harus dilatih sih ya mba... Anak dibimbing utk bisa berani di sekolah dan dilingkungan. Jadi mereka bisa tumbuh dengan tingkat kepercayaan tinggi, aktif melakukan sesuatu dan tingkat inisiatif nya jadi berkembang juga .

    BalasHapus
  2. terima kasih atas sharingnya, mba Ima.. meski tak lagi ada balita di rumah tapi bisa nih kuteruskan tips2nya utk kakak yg masih ada bocil atau sahabat2ku yg juga msh ada balita..

    BalasHapus
  3. Jangan ditakut-takuti termasuk tips agar anak jadi lebih percaya diri. Setuju banget, anakku waktu kecil gak takut saat lampu padam, malah tetep tidur. Ada orang meninggal juga biasa aja, ditinggal sendiri gak takut. Jadinya mereka tumbuh besar menjadi anak yang percaya diri dan mandiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau anak saya jadi suka takut gara-gara mereka nonton video di youtube, mbak. kadang suka kesal mau ke dapur aja sekarang minta temenin karena ada tikus katanya padahal dulu nggak terlalu penakut anaknya

      Hapus
  4. Masyaallah keren banget Dipta mbak. Aku pun lavi berproses ngajarin anak2 utk lebih pede. Yg susah buatku tu ga menginterupsi suka gemes kalo hasilnya ga sesuai ekspektasiku. Padahal kan masih bocah ya emaknya ni kadang suka ga sabar hehehe

    BalasHapus
  5. Masih perlu banyak belajar mengenai parenting ini, memang belum tahu kalan punya anak. Tapi kalau sudah belajar akan lebih mudah

    BalasHapus
  6. Mba, salut sekali dg konsistensi sikap mba sehingga bisa membentuk karakter anak menjadi percaya diri. Saya ijin duplikasi ya karena saya percaya respon kita ke anak akan mempengaruhi karakternya.

    BalasHapus
  7. Makasih sharingnya. Kalau anakku yang pertama dulu pas masih 2 tahunan agak pemalu sih tapi sekarang alhamdulillah sudah nggak pemalu lagi kalau di sekolah dia termasuk percaya diri. Sekarang anak ke dua nih PR-nya gima a biar dia nggak minta temenin terus kalau ke dapur dan biar mau bilang terima kasih soalnya kayaknya anaknya gengsian banget

    BalasHapus
  8. Wah setuju banget, pokoknya dari apa yang dilakukan anak harus selalu diapresiasi. Jangan terlalu mengekang agar anak bisa bebas dalam mengekspresikan dirinya..

    BalasHapus
  9. Wah anak saya harus diajari berani terkadang repot juga kalau anak takut binatang

    BalasHapus
  10. Setuju banget sama tipsnya dan sering aku praktekkan di rumah. Intinya, anak itu juga manusia yang berproses ya kan. Biarkan anak melakukan kesalahan dan percaya saja bahwa pada waktu yang terbaik, anak akan berkembang terus menunjukkan potensinya

    BalasHapus
  11. wah iya boleh juga nie tipsnya biar makin bisa melatih stimulasi pada anak secara mandiri yaaa tanpa bantuan konselor

    BalasHapus
  12. kalo ngomongin anak ga ada abisnya yaa bund. anak aku aja udah mulai eksplore kesana kemari tingkahnya minta ampun tapi yaa memang masanya dia untuk di fase itu jadi harap maklum wkwkwk

    BalasHapus
  13. Mengajarkan anak percaya diri itu emang sulit" gampang yaaa, harus di latih sejak dini.. thank you tipsnya mom

    BalasHapus
  14. Jadi semakin paham aku cara mendiidk anak dalam perkenalkan dunia sekelilingnya dan setuju bila apresiasi ke anak tuh penting banget

    BalasHapus
  15. Nah benar, contoh lain apresiasi bisa juga berupa pujian saat anak berhasil menyelesaikan tugasnya juga bisa memupuk percaya diri anak. Suka nih sama pemaparannya, mudah dipahami

    BalasHapus
  16. MashaAllah, bagus banget cara didik anaknya kak. Jadi pembelajaran sekaligus motivasi untuk aku kalo nanti udah nikah dan punya anak. Lumayan jadi banyak tau soal cara didik anak terutama biar percaya diri.

    BalasHapus