Apakah Aku Ibu yang Baik?


Menjadi ibu adalah salah satu adaptasi terbesar dan terpanjang. At least itu buatku. Hehe. Dari kecil, aku sudah terbiasa hidup berpindah dari satu kota ke kota lain. Beradaptasi dengan lingkungan baru, membaur dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di daerah masing-masing.

Baca tentang : BerPindah

Lah ini, dua tahun setengah menjadi ibu dari satu orang putera, rasanya hidupku sebagai ibu masih magang bae magang! Clueless, padahal sudah berusaha belajar sana sini, mencoba mindful dalam mengambil setiap sikap dan tindakan, tapi kok rasanya tetap nggak oke nih. Tetap saja, kadang aku marah dengan sadar, meninggikan suara meskipun paham harusnya bisa nge-rem.

Am I good enough mother?

Pertanyaan ini hampir setiap hari kayaknya aku lontarkan pada diri sendiri. "Pantes nggak sih gue tuh menyandang gelar jadi ibu, yang surga anak gue tuh di bawah telapak kaki ini?". Selalu merasa kurang, merasa bersalah dan merasa tidak cukup baik menjadi ibu dari anak kecil yang polos, lucu dan imut-imut ini. Huhu.

Beruntungnya aku, selalu meyakinkan diri sendiri bahwa aku bisa dan aku mampu menjadi ibu yang baik. Sebab Allah nggak akan sembarangan memilih manusia untuk merawat dan membesarkan anak. Allah aja percaya pada diriku, masa aku sendiri tidak percaya pada kemampuan diri sendiri?

Oke, dapat semangat lagi untuk selalu berusaha menjadi lebih baik. Walaupun besoknya down lagi, lain waktu menemukan semangat lagi, lalu down lagi. Gitu aja terus kehidupan gue selama dua tahun setengah ini. LOL!

Manusia berusaha, Tuhan akan menentukan. Baiklah, aku akan terus berusaha untuk menjadi ibu yang baik meskipun hampir setiap hari mempertanyakan pernyataan tersebut. Haha. Berbekal usaha mengikuti akun-akun parenting di sosial media, aku menemukan secercah harapan di mana Kepala Sekolah Bumi Nusantara Montessori, Bu Pritta Tyas, bekerja sama dengan ibupedia mengadakan Zoom Class dengan topik "Apakah Aku Ibu yang Baik?"


Tanpa pikir panjang, aku langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas tersebut. Acaranya diadakan pada hari Jum'at, tanggal 9 April 2021, pukul 19.00 - 20.30 WIB. Meskipun aku tau kalau di hari tersebut aku harus berangkat ke Bandung, aku sudah berniat untuk menghadiri kelas tersebut walau harus berada dalam perjalanan. Ini karena kelasnya gratis, jadi nggak ada rekaman zoom-nya. Sayang banget kan kalau terlewati!

Alhamdulillahnya, kerabat yang menjemput kami dari Bandung datang terlambat, sehingga aku bisa mengikuti zoom class menggunakan laptop serta membuat resume dari hasil webinar tersebut.

Being Good Enough Parents

You are good enough Mom!

Menurut D.W Winnicott, seorang dokter spesialis anak asal Inggris, anak-anak yang masih berada dalam kandungan akan merasakan kesempurnaan. Hal ini dikarenakan seluruh kebutuhan hidupnya tercukupi. Rasa sempurna ini akan bertahan sampai anak mencapai usia 1 tahun atau hingga 18 bulan.

Setelah usianya menginjak 18 bulan, anak akan mulai belajar dan paham bahwa dunia yang ia tempati sekarang, tidak seideal dulu lagi. Darimana ia belajar? Tentu ia belajar dari lingkungannya, dari rumah tempat ia tinggal dan dari perilaku orang-orang di sekelilingnya.

Anak-anak yang sedang mengalami masa transisi ini belajar juga dari perilaku kedua orang tuanya. Jangan anggap, perilaku orang dewasa di sekitar anak yang tidak sempurna dan banyak kekurangan ini adalah hal yang salah. Justru anak memang perlu belajar bahwa tidak ada yang ideal di kehidupan ini, anak akan mempelajari ragam emosi dari apa yang ditunjukkan oleh orang dewasa di sekitar mereka.

Meskipun demikian, ini bukanlah suatu excuse yang boleh dijadikan suatu pembenaran untuk orang dewasa (orang tua) melakukan hal-hal yang kurang berkenan pada anak-anak.

Setidaknya ada 4 hal yang sering kali membuat para ibu sering kali merasa tidak menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Keempat hal tersebut adalah :

1. Peer Pressure

Tidak jarang, lingkungan sekitar memberikan tekanan pada ibu tentang pola pengasuhan anak. Meskipun bertujuan baik, ada kalanya perasaan ibu yang sensitif menjadikan omongan orang lain adalah suatu tekanan. Misalnya saja komentar dari pasangan, orang tua, mertua, kerabat, bahkan tetangga di lingkungan sekitar rumah.

2. Knowledge Trap

Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan semakin berkembang dan akses untuk mendapatkannya juga semakin mudah. Saat ini, banyak ibu-ibu yang sudah mulai sadar bahwa menjadi orang tua haruslah dibekali ilmu parenting yang baik. Mengetahui teori-teori agar tidak tersesat dan memiliki pegangan ketika mengasuh dan membersamai anak-anak.

Akan tetapi, terkadang menerapkan teori tidak semudah membalikkan telapak tangan ketika kita terjun langsung menghadapi anak-anak di kesehariannya. Sudah baca sana sini, masih juga meledak marahnya. Sudah ikut kulwhap dan webinar macam-macam, masih juga kesulitan ketika menghadapi anak tantrum. Ini membuat banyak ibu-ibu merasa tidak sempurna, tidak baik dan merasa selalu kurang.

Padahal, penerapan ilmu parenting itu tidak harus sekaligus. Harus dilakukan secara bertahap, konsisten dan tidak bisa instan mendapatkan hasilnya. Tentu akan selalu ada tantangan dalam menerapkan segala teori yang sudah didapatkan.

3. Social Comparison

Kekuatan media sosial tidak hanya menimbulkan impact yang baik bagi masyarakat namun bisa juga sebaliknya. Banyaknya parenting influencer atau ibu-ibu yang mengunggah kebersamaan dengan anak-anak mereka bisa membuat seseorang di luar sana membandingkannya dengan diri sendiri. Menganggap bahwa kehidupan ibu-ibu yang gemar posting tersebut sempurna dan tampak selalu baik-baik saja.


Padahal, yang diposting hanyalah beberapa detik dari 24 jam kehidupannya yang kita tidak pernah tau bagaimana ia lewati. Ya lagian, masa iya yang diposting saat dirinya lagi menangis, marah dan menunjukkan tingkah polah anak-anak yang sedang tantrum tidak karuan?

4. Respon dari Anak

Saat ibu marah atau melarang anak melakukan sesuatu, anak mungkin akan mencari perlindungan dengan kabur sesaat ke orang lain yang ada di lingkungan rumah. Misalnya saja pengasuhnya, nenek atau kakek atau ayahnya.

Ibu pun merasa tidak cukup baik karena anak malah menunjukkan respon yang demikian, meskipun niat ibu bukanlah untuk menyakiti perasaan anak-anak.

Keempat hal di atas kemudian melahirkan banyak ekspektasi-ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita yang dihadapi oleh para ibu dalam mengasuh anak-anak.

3A Mengelola Emosi Negatif

It's okay to not be okay, Mom

Sesabar-sabarnya ibu, pasti pernah merasakan emosi negatif. Baik itu sedih, kecewa bahkan marah. Namun, saat ibu sedang merasakan emosi negatif, ada tips agar ibu dapat mengelola emosi negatif tersebut dengan baik. Tentunya, praktiknya tidak akan semudah menuliskan teori di bawah ini. Perlu kesadaran diri, konsistensi dan kesabaran untuk menerapkannya.

Acknowledge Anger

Sadar dan mengakui emosi yang ada dalam diri ibu pada saat itu. Misalnya dalam hati berkata, "Kayaknya aku lagi marah banget nih, sampai pengen banget membentak,".

Allow Anger

Mengizinkan diri sendiri untuk marah. Menerima bahwa marah itu bisa terjadi pada siapa pun. Contohnya mengatakan pada diri sendiri, "Setiap orang pasti pernah juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Marah itu normal kok, kamu berhak untuk marah,".

Acceptable Solutions

Terakhir adalah fokus pada cara untuk meredakan amarah tersebut. "Apakah kamu ingin minum air putih supaya meredakan sedikit emosimu?" atau "Sepertinya aku harus menyendiri sebentar untuk menenangkan diri,". Setelahnya, ibu bisa bernegosiasi dengan anak-anak untuk meminta waktu meredakan emosi.

Untuk diriku sendiri, biasanya saat sumbu sedang pendek-pendeknya dan nggak ingin ngomel atau marah-marah, aku akan meminta waktu sejenak untuk berdiam diri di kamar. Di dalam kamar, entah aku hanya berbaring atau main ponsel atau bahkan menengok drama Korea sebentar. Haha. Setelah emosi mereda, baru aku akan kembali keluar kamar.

Lalu, bagaimana kalau seandainya cara tersebut tidak berhasil dan ibu tetap kelepasan marah atau melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan (membentak, memukul, mencubit)? Ibu bisa melakukan 4R di bawah ini :

Don't forget to do those after you got angry, Mom

Jika diibaratkan, cinta dan kasih sayang kita pada anak-anak itu bagaikan uang dan tabungan (rekening). Di mana pada saat kita bermain bersama anak, membuat anak tertawa dan senang, di sana kita sedang menabung cinta pada rekening yang ada pada diri anak kita. Sedangkan ketika kita marah, kesal pada anak hingga melakukan hal-hal yang tidak baik, kita secara tidak langsung sedang menarik kembali cinta yang ada pada rekening tadi.

Jadi, cara untuk mengembalikan kembali tabungan cinta kita pada rekening diri anak adalah dengan memperbaiki kesalahan yang telah kita perbuat. Pertama adalah kita harus sadar akan kesalahan yang telah kita perbuat, misalnya membentak anak hingga ia ketakutan. Setelah melakukannya, sadari bahwa tindakan barusan adalah tindakan impulsif yang seharusnya tidak kita lakukan pada anak.

Selanjutnya adalah membangun koneksi kembali dengan anak. Misalnya dengan menenangkan diri terlebih dahulu baru meminta izin untuk memeluk anak. Buat diri kita, ibunya, adalah tempat yang selalu aman dan nyaman bagi anak.

Kemudian, minta maaf pada anak tanpa embel-embel. Cukup katakan, "Ibu minta maaf ya karena tadi membentak kamu,". Jangan ditambah-tambahi dengan, "... habisnya tadi kamu mainan listrik, sih. Kan ibu jadi khawatir kamu kesetrum!". Intinya, just say sorry.

Terakhir adalah fokus pada solusi. Pikirkan hal apa yang bisa membuat tabungan cinta kita pada anak kembali terisi dan jumlahnya lebih banyak daripada yang sudah kita tarik karena membentak anak tadi.

Be Kind to Yourself

Sumber : Bumi Nusantara Montessori

Menjadi seorang ibu, orang tua, bukanlah perjalanan yang singkat. Perlu waktu yang sangat panjang untuk membesarkan dan mendidik seorang anak. Sebagai manusia, tentu tidak ada ibu yang terlahir sempurna dan langsung mahir dalam menjalankan perannya. Ibu perlu belajar. Terkadang dalam perjalanannya selama belajar itu, ibu akan melakukan kesalahan.

Baik ibu dan ayah pasti pernah berbuat salah, hilang kesabaran dan kesulitan meregulasi emosi. Minta maaflah saat itu terjadi, jangan lupa untuk memaafkan diri sendiri juga. Buatlah rencana-rencana yang lebih baik untuk ke depannya setelah melakukan introspeksi diri. Terakhir, don't push yourself to be perfect, be kind to yourself. Ingatlah bahwa Tuhan tidak akan pernah salah memilih kita sebagai orang tua dari anak-anak kita.

Ehm, itu lah tadi sedikit banyak resume yang aku dapatkan dari hasil zoom class bersama Bu Pritta Tyas yang menurutku cukup memberikan aku pencerahan. Apa yang sudah aku pelajari dan dapatkan ini kemudian aku tuliskan kembali sebagai pengingat diri sendiri, juga untuk berbagi bersama ibu-ibu dan orang tua yang lain.

Semoga tulisannya bermanfaat!

Sukabumi, 24 April 2021

Posting Komentar

24 Komentar

  1. Lovely. Suka denger kata mengisi tangki cinta, tapi ini diibaratkan sebagai rekening ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak rani, sama aja sebenernya ya. Istilahnya dipakai biar mempermudah aja, kalo lagi marah2 ibarat'y narik saldo rekening kalo lagi baik2 ngisi saldo lagi. Hehe..

      Hapus
  2. Knowledge trap tuh saya banget, wkwkwk. Saya tuh kayaknya kebanyakan baca teori pengasuhan dan malah bikin jadi sesak sendiri. Tapi kalau sekarang saya sudah mulai menerima kalau i'm not perfect sih. Sekarang kalau baca sesuatu cukup tanamkan saja kalau itu referensi, tapi bisa jadi enggak selalu cocok sama kondisi nyata,hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, mba. Emang kenyataan nggak semudah teori. Banyak baca, banyak tau, pas praktek banyak bingungnya ya. Wkwkwk..

      Hapus
  3. Acknowledge and Allow anger, and Acceptable Solutions.
    Ini penting bgt buat aku, mba
    Soale kadang aku tuh emosi jiwa ngga jelas gitu dah wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lagi pms mungkin mba, kayak saya kadang anak ngapain dikit aja bisa panas nih rasanya. Rupanya udah tanggal mau haid. Wkwk..

      Hapus
  4. Whuaaah, menjadi ibu yang baik adalah perjalanan yang sangat bermakna bagi seorang wanita ya. Salah satu eksistensi dan amanah yg diemban oleh wanita di bumi adalah menjadi ibu yg baik untuk anak2nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bermakna dan panjang yaa. Nggak cuma hamil dan melahirkan aja, so long journey..

      Hapus
  5. Semoga dengan menjadi ibu yang baik juga akan mengahsilkan anak yang baik dan soleha ya bunda Amin YRA

    BalasHapus
  6. Baik ibu dan ayah pasti pernah berbuat salah, hilang kesabaran dan kesulitan meregulasi emosi >>> betul, ananda Ima
    . setelah jsdi ibu, kita baru sadar seberapa susahnya orang tua kita mengasuh kita dahulu. Terlebih jumlah anak yang banyak.terima kasih telah berbagi, Selamat malam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2, Nek. Iya, nggak kebayang yg dulu anaknya banyak2 ya..

      Hapus
  7. Akuboernah memgalami fase mempertanyakan apakah aku ibu yang baik. Tapi sekarang aku sudah di tahap menerima mba, bahwa aku hanya ubu yang selalu belajar dan mencoba menjadi lebih baik dari aku yg kemarin.

    BalasHapus
  8. Ilmu buat saya buat persiapan punya anak nih, senengnya banyak ilmu dari ibu-ibu yang udah berpengalaman 😊

    BalasHapus
  9. Wajar kok mbak jika muncul pertanyaan tersebut. Yang nggak wajar kalau kemudian kita terus tenggelam pada pertanyaan tersebut dan terus merasa bersalah, tapi do nothing. Setuju dengan mengisi tangki cinta, dan pastinya stop comparing sama parenting style orang lain :)

    BalasHapus
  10. Bener banget Mbak, saat sedang marah atau kayak pengen marah sebagai ibu perlu diam sejenak ya Mbak, cara ini cukup efektif juga bagi saya untuk meredam emosi negatif.

    BalasHapus
  11. Bagus ni infonya, makasih mbaaa. Ngerasa kurang mulu, suka blaming diri sendiri :(

    BalasHapus
  12. Wiwin | pratiwanggini.net30 April 2021 pukul 03.17

    Udah belasan tahun saya menjadi ibu dari 2 orang anak, sesekali iya muncul pertanyaan seperti itu. Yang terpenting adalah saya berusaha menjadi ibu yang baik, karena saya tahu tidak akan bisa jadi ibu yang sempurna.

    BalasHapus
  13. suka dengan tulisan mbak ima
    sebenarnya anak anak nggak menuntut ibu yang sempurna kok mbak, anak anak hanya ingin ibu yg bahagia
    hepi mom raise hepi kids

    BalasHapus
  14. Mengizinkan diri sendiri untuk marah karena memang kesabaran seseorang ada batasnya ya. Namun setelahnya sebisa mungkin kembali mengisi tangki cinta & gak mengulanginya lagi

    BalasHapus
  15. Aku juga perlahan mulai belajar mengisi rekening anak-anak.
    Gak ada kata terlambat yaa...Semoga anak-anak yang putih hatinya senantiasa dijaga fitrah mereka dan memaafkan sepenuhnya atas kekhilafan mamak yang belum berilmu kala itu.

    Haturnuhun kak Ima sudah berbagi.

    BalasHapus
  16. Marah itu manusiawi tapi kontrol emosi pun masih jadi pembelajaran diri buay aku. Biar gak dibilang marah-marah mulu. Untungnya aku kalo marah gak pake teriak-teriak.

    BalasHapus
  17. Zoom class yang sungguh bermanfaat sekali bagi para ibu. Di tengah kesibukan kita, penting banget dapat edukasi dan sharing seperti ini

    BalasHapus
  18. Membaca ini kenapa aku jadi terharu, ya, membayangkan kalau punya anak nanti seperti apa. Ternyata masih banyak ilmu yang harus aku pelajari. Terimakasih sharing ilmunya, Mbak ��

    BalasHapus