Pernah mendengar istilah terrible two? Istilah yang sering digunakan orang tua ketika anaknya memasuki usia 2 tahun. Kenapa terrible? Katanya, anak yang usianya memasuki tahun kedua cenderung sering tantrum.
Tantrum, apalagi itu? Tantrum adalah suatu ledakan emosi yang ditunjukkan oleh anak-anak, biasanya dilakukan dengan menangis, berteriak, berguling-guling bahkan sampai menyakiti dirinya sendiri. That's why sebutannya terrible two. Membayangkannya saja sudah ngeri!
Mulanya aku tidak begitu aware akan terjadinya tantrum pada anakku. Berhubung ia termasuk anak yang kalem dan masih bisa diberitau dengan baik-baik. Tapi, memasuki usianya yang hampir 2 tahun ternyata emosiku memang lebih banyak terkuras karena ia sedang memasuki fase tantrum ini.
Berbagai teori dan pengalaman menangani anak-anak tantrum sudah aku baca. Harapannya, akan mudah menghadapi anak saat ia tantrum. Kenyataannya? Tidak semudah itu, Ferguso!
Pada jurnal tantangan komunikasi produktif hari ke-4 ini, aku akan bercerita tentang kejadian hari ini dimana anakku mengalami tantrum di depan orang-orang.
TANTANGAN 15 HARI ZONA #1 - Hari ke-4
Temuanku hari ini :
Pagi ini, tetangga yang merupakan pengurus RT beserta Ibu Ketua RT mampir ke rumah untuk melakukan pendataan anak-anak yang ikut dalam program Posyandu di komplek perumahan tempat aku tinggal.
Berhubung Posyandu ditiadakan selama pandemi, Ibu Ketua RT melakukan pendataan untuk pemberian obat cacing dan vitamin A. Saat ada tamu datang, jelas si kecil langsung ingin berpartisipasi sebagai seksi sibuk.
Masalah terjadi saat Ibu Ketua RT dan tetangga pamit pulang dan membuka gerbang. Secepat kilat, anakku lari keluar rumah gerbang tanpa menggunakan alas kaki. Ibu tetangga secara otomatis menangkapnya karena takut ada kendaraan yang berlalu lalang di depan rumah.
Beliau memasukkan kembali anakku ke dalam gerbang rumah dan menutup pintu gerbang. Kemudian anakku menjerit dan menangis histeris, ingin main di luar rumah. Ibu Ketua RT dan ibu tetangga mencoba menghibur anakku, namun tangisnya semakin menjadi-jadi dan ditambah dengan mencoba menghempaskan badannya ke ubin garasi.
Aku segera menggendongnya dan pamit untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu pada ibu-ibu tersebut. Anakku sempat diam sejenak, lalu kembali beraksi setelah aku menutup pintu rumah.
Ternyata, pagi ini stock sabarku tidak cukup banyak. Aku berkata DIAM padanya dengan meninggikan nada suara. Ia tidak terpengaruh dan tetap menangis sejadi-jadinya. Oke, aku menggunakan cara yang salah.
Aku menurunkannya dari gendonganku dan merendah hingga tinggi kami sejajar, lalu mencoba menerima perasaan marah dan kecewanya karena dilarang keluar pagar (dengan cara seperti tadi). Kemudian aku berkata kalau sudah selesai nangisnya, aku akan ada untuk memeluknya.
Lalu ku tinggalkan ia menangis sementara aku pergi mengambil minum sambil menurunkan emosiku. Tak lama berselang, tangisannya berhenti total. Ia mendatangiku dan meminta pelukan. Hehe.
Aku bertanya padanya apa yang ia inginkan? Ia menunjuk pintu keluar sebagai tanda ingin bermain di luar. Aku kembali bertanya padanya, bagaimana cara meminta yang baik? Ia menjawab dengan, "Mamah, tolong...". Lalu aku memintanya menunggu sebentar agar aku bisa memakai jilbab terlebih dahulu sebelum kami bermain di luar. Aku juga memintanya memakai sendal sebelum keluar gerbang.
Saat moodnya membaik setelah bermain di luar, aku menyampaikan padanya bahwa aku tidak suka caranya meminta seperti tadi. Aku juga mengungkapkan rasa sedih dan kecewa karena ia tidak meminta dengan baik-baik, aku ingin lain kali ia tidak berbuat seperti tadi lagi.
Tantangan yang kuhadapi hari ini :
Menghadapi anak tantrum di depan orang lain bukan hal yang mudah. Aku harus tetap tenang dan bersabar menghadapinya serta mendengar tanggapan dari orang lain.
Aku juga harus menurunkan kembali emosiku yang sempat naik hingga meninggikan suara di depan anakku.
Rencanaku untuk esok hari :
Terus belajar untuk mengatur emosi agar boiling point bisa setinggi mungkin. Menghindari anak tantrum dengan memenuhi kebutuhan dasarnya.
Poin komunikasi produktif hari ini :
1. Mengendalikan intonasi suara
Walaupun sempat meninggi dan sebenarnya gengsi untuk menurunkan kembali nada suaraku, aku mengalah dengan mengambil waktu sejenak sebelum kembali berbicara.
Aku sadar bahwa anakku sedang dalam masa absorbent mind, dimana ia akan menyerap semua yang ia dengar dan lihat sehingga besar kemungkinan ia akan meniru apa yang aku lakukan di kemudian hari.
2. Menunjukkan Empati
Aku mencoba menghargai perasaannya dengan menerima kalau ia menangis karena sedih dan marah tidak diperbolehkan keluar rumah.
Selain ledakan emosi, tantrum juga diartikan sebagai cry for help yang ditunjukkan oleh anak-anak saat ia belum mampu mengekspresikan perasaannya dengan sempurna. Jadi, aku menganggap marahnya tadi sebagai teriakan untuk meminta tolong padaku kalau ia sedang kesal.
3. Fokus ke depan
Dengan mengatakan kalau aku tidak ingin ia mengulangi tindakannya tadi, aku fokus pada masa depan dan tidak melulu membahas hal buruk yang telah ia perbuat.
Berapa bintangku hari ini :
🌟🌟
Imawati Annisa Wardhani
Regional Sukabumi
06/09/20
#harike-4
#tantangan15hari
#zona1komprod
#pantaibentangpetualang
#institutibuprofesional
#petualangbahagia
0 Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya 😊 yang mau ngobrol-ngobrol terkait artikel di atas, yuk drop komentar positif kalian di kolom komentar.
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya, Frens! 😉
Satu lagi, NO COPAS tanpa izin ya. Mari sama-sama menjaga adab dan saling menghargai 👍