Kapan Belajar Hangeul?


Wah! Tidak menyangka bisa menulis hingga topik ke 10 di Kdrama Writing Challenge bersama teman-teman KLIP Drakor dan Literasi. Ini adalah topik terakhir yang kami tulis pada bulan Juni 2020, bulan depan kami akan mulai menulis topik ke-11 hingga 20. Semoga aku masih konsisten mengikuti tantangan ini. Hwaiting!

Bagi yang sudah terbiasa menonton drama Korea secara streaming atau men-download dari berbagai situs penyedia film, tentu sudah tidak asing lagi dengan bahasa Korea yang dilafalkan oleh para pemain dalam drama.

Dulu, drama Korea yang ditayangkan di televisi dalam negeri menggunakan sistem dubbing untuk mengisi suara pemainnya menjadi bahasa Indonesia agar tidak lagi perlu diterjemahkan. 

Sekarang, drama yang ditayangkan di televisi sudah tinggal menggunakan dubbing lagi melainkan menampilkan suara asli pemain drama dalam bahasa Korea. Ternyata memang lebih asyik menonton sambil mendengarkan bahasa Korea langsung karena kalau sudah di-dubbing malah terdengar aneh.

Karena sering mendengar orang-orang Korea berbicara, beberapa kosakata nyangkut di otak dan sering terucap baik secara sengaja maupun tidak oleh para penggemar drama maupun Kpop.


Kata-kata yang telah terekam dan terucap ini membuat penasaran akan bagaimana sih tulisan dari kata-kata tersebut? Ini membawa sebagian penggemar drakor dan Kpop mulai mempelajari huruf-huruf Korea yang disebut hangeul.

Source : idntimes.com
Ngomong-ngomong soal belajar bahasa, aku langsung teringat pada mendiang ayahku yang dulu sangat gemar belajar bahasa. Bukan hanya gemar, beliau pun dengan cepat menguasai berbagai bahasa yang ia pelajari. Ayahku mahir begitu banyak bahasa mulai dari bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Banjar, Medan hingga bahasa asing seperti Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Jepang dan lainnya.

Di rumah Jogja, tempat orangtuaku tinggal, peninggalan buku-buku belajar bahasa seperti kamus bahasa asing milik ayah masih banyak tersimpan. Selain bahasa-bahasa asing yang aku sebutkan di atas masih ada lagi kamus bahasa seperti Spanyol, Jepang dan China. China adalah bahasa ading terakhir yang ayahku pelajari.


Menurutku pribadi, belajar bahasa asing itu tidak sama dengan belajar menyetir mobil atau motor dan berenang. Setelah kita menguasai skill menyetir atau berenang, meskipun lama tidak memegang kendaraan atau nyemplung ke air tapi kemampuannya akan datang kembali saat kita kembali melakukan kegiatan tersebut. Walau mungkin rada kagok ya awal-awalnya namun cepat beradaptasi dan menguasai kembali skill yang sudah lama tidak dilakukan itu.

Kalau belajar bahasa, bagi aku sendiri kuncinya adalah penggunaan yang sering dan kontinyu agar terbiasa dan semakin fasih. Dulu, zaman SMA aku mempelajari bahasa Jepang karena memang ada mapel wajib di sekolah. Apa aku suka belajar bahasa Jepang? Ya suka sekali. Apa aku bisa? Ya. Aku hafal huruf-huruf hiragana dan katakana, bisa merangkai kata-kata menjadi kalimat, mampu berbicara di depan kelas dengan bahasa Jepang dan nilai ujianku cukup baik.

Namun, setelah lulus SMA aku sama sekali tidak pernah menggunakan bahasa Jepang untuk bercakap-cakap dengan siapapun. Walhasil, menguap entah kemana itu kemampuan bahasa Jepangnya. Nangiiiiss~

Saat ke Korea tahun 2010, ada seorang teman dari Jepang yang selalu seorang diri karena ia tidak terlalu fasih berbahasa Inggris, apalagi Korea. Haha. Sesekali aku menyapanya dengan sapaan bahasa Jepang yang masih ku ingat. Waw, dia senang sekali mendengar aku berbicara bahasanya. Dia berkata bahasa Jepangku bagus sekali. Padahal hanya mengucap, "Ohayougozaimasu!" atau, "Arigatougozaimasu!" Wqwq.

Waktu itu berkata dalam hati, coba aku masih ingat dan menguasai bahasa Jepang seperti saat sekolah pasti seru bisa ngobrol dengannya.


Sebenarnya belajar bahasa beserta tulisan asing itu seru dan mengasyikan. Tapi, harus ada tujuannya. Untuk apa belajar itu? Karena ya itu tadi, kalau tidak terbiasa menggunakannya akan menguap dan apa yang dipelajari terasa sia-sia. Itu aku loh, ya.

Seperti ketika sebelum berangkat ke Laussane di Swiss tahun 2013, aku sedikit-sedikit belajar bahasa Perancis dimana tulisan dan pelafalannya lumayan jauh seperti antara Anyer dan Jakarta. Tulisannya apa dibacanya bagaimana.

Bermodal kamus milik ayah dan arahan dari beliau, aku belajar memahami kata-kata krusial yang penting saat berada disana. Sepulangnya dari Laussane, setelah bertahun-tahun berlalu kata-kata yang aku ingat hanya, "Merci beacoup," (baca : mersi boku) dan "Salut, comment allez-vouz?" (baca : salu, komang tale-vu?) serta jawabannya, "Bien, merci!" (baca : biang, mersi!).


Jadi, jika ditanya apa aku tertarik mempelajari hangeul atau tulisan Korea? Jawabannya iya. Sangat iya. Asyik banget kalau bisa membaca teks bahasa Korea dan paham artinya tanpa perlu melihat subtitle. Namun, aku belum menemukan urgency mengapa aku harus belajar hangeul dalam waktu dekat ini. Hehe.

Untuk sekarang, dengan tersedianya subtitle dan beberapa kata yang nyangkut di otak, menonton Korea sudah bisa sangat aku nikmati. Mungkin, jika berkesempatan untuk kembali ke Korea aku akan mulai mempelajari hangeul sebelum hari keberangkatanku agar paham tulisan-tulisan disana seperti petunjuk arah, nama jalan, nama tempat makan dan lain sebagainya yang akan mempermudah hidupku selama disana.

Berhubung aku ini orangnya pelupa pake banget, sayang jika sudah belajar hangeul dengan serius lalu tidak dipergunakan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini mungkin bukan hangeul yang jadi prioritas, bahasa Sunda dulu aja kali ya. Sudah 5 tahun tinggal di Jawa Barat tapi skill berbahasa Sunda masih jalan ditempat.

Sepertinya nyunda dulu yang harus dipelajari, agar bisa nyambung ketika ngobrol dengan mertua dan saudara ipar. Haha.

Sukabumi, 27 Juni 2020



Posting Komentar

2 Komentar

  1. LHo kok kita samaan? Aku belajar Hangul entar-entar aja kalau udah jadi pasport ke Koreanya. Hahahahaha

    BalasHapus