Long Distance Marriage, Yay or Nay?


Saat ini aku sedang mudik ke rumah orangtuaku di Jogja, yang berarti harus berpisah jarak sementara waktu dengan suami tercinta. Ini bukan kali pertama aku menjalani Long Distance Marriage alias LDM, saat aku mengandung anakku tahun 2018 lalu tepatnya setelah 7 bulan, aku pulang ke Jogja untuk menanti kelahiran si bocah disini. Mau tidak mau aku berjauhan dengan suamiku yang kala itu dinas di Bandung. Kami baru kembali tinggal bersama setelah usia anakku hampir 4 bulan, jadi LDM selama 6 bulan tuh! Setelah orangtuaku pulang haji bulan Agustus 2019 lalu, aku pun stay lama di Jogja, kurang lebih hampir 3 bulan.

Berbeda rasanya ternyata menjalani hubungan jarak jauh sebelum dan setelah menikah. Sebelum menikah, aku yang sudah resign mempersiapkan hal-hal terkait pernikahan kami dari Jogja sementara suamiku yang saat itu masih calon, tinggal di Bandung. Kayaknya dulu selow dan santai aja menjalani hubungan jarak jauh. Kangen sih, cuma kan udah mau nikah jadi tenang aja gitu karena pasti bertemu kembali.

Setelah menikah dan harus menjalani hubungan jarak jauh ternyata rasanya setidak nyaman itu. Huhu. Terlebih dulu saat hamil, bawaannya melow apalagi jika sudah menjelang malam dan melakukan komunikasi melalui video call. Pengennya ia ada di sampingku, ngobrol ngalor ngidul sampai tertidur. Eits! Tapi, aku masih bisa menikmati hidup ketika LDM, bisa main bareng teman-teman yang masih ada di Jogja, bisa begadang untuk menulis atau menonton drama korea atau sekedar membaca komik. Hehe.

Jadi, kira-kira begini suka duka menjalani LDM ala diriku :

SUKA
1. Bebas
Berada di Jogja, berarti berada dalam zona nyaman. Karena aku tinggal bersama kedua orangtua dan adik-adikku. Aku tidak punya kewajiban seperti saat aku tinggal hanya dengan suami dan anakku. Aku tidak perlu bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan pakaian kerja suami, pergi ke dapur untuk memasak dan membersihkan rumah. Tinggal bersama orangtua membuatku kembali menjadi anak manja, semua sudah tersedia. Hehe.

Baca tentang : Menyentuh Dapur

Ada saat dimana aku ingin pergi dengan teman-temanku tanpa harus membawa anakku, jadi kalau di Jogja aku akan menitipkannya pada orangtuaku dan aku pun terbebas sebentar dari tugas membersamai anak. Punya waktu untuk me time walau hanya sekedar ke salon untuk potong rambut. Intinya, lebih bebas di jam kerja karena ada orangtua. Berbeda saat aku di Sukabumi, suami kerja ya aku pasti di rumah bersama anak. Berhubung tidak ada helper, mau kemana pun aku pergi harus membawa-bawa anakku.

2. Banyak waktu untuk melakukan hobi
Kalau biasanya bersama suami, selepas makan malam dan menidurkan anak maka aku dan suami akan lebih banyak ngobrol membahas hal-hal yang terjadi seharian atau membicarakan rencana-rencana yang belum terealisasi atau hanya sekedar bercanda nggak jelas.

Saat sedang LDM, setelah anakku tidur biasanya melanjutkan menulis blog dan membaca-baca artikel untuk belanja ide menulis. Jika sudah selesai atau bosan, aku akan pindah membuka webtoon untuk membaca komik. Scrolling medsos, hingga menonton drama korea. Waktu yang biasa ku habiskan bersama suamiku jadi dialihkan sepenuhnya untuk mengerjakan hobi. FYI, suamiku bukan tipe manusia yang suka membalas chat dengan kalimat panjang jadi kalau sedang tidak video call maka better mengerjakan hal lain lah sambil diselingi chat sesekali.

Sepertinya cukup segitu sukanya, sekarang DUKA...

1. Rindu
"Jangan rindu, berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku saja.." kira-kira begitulah ya kata si Dilan dan yes! Setuju banget masbro, rindu itu terasa begitu berat apalagi rindu pada orang yang paling kita cintai. Biar Dilan aja deh, gue mah nggak mau. Hiks.

Salah satu perjuangan terberat saat LDM adalah menahan rindu. Rindu suaranya yang tidak hilang hanya dengan teleponan, rindu melihat dan menyentuh wajahnya yang tidak terbalas via video call, rindu mengantar kepergiannya di pagi hari untuk bekerja, rindu menyambutnya pulang kerja di sore hari, rindu canda tawanya saat bersama anak, rindu semua yang ada di dirinya! I miss you, Mas. Kemudian jadi melow, haha.

2. Harus mandiri
Sebagai anak sulung, jujur aku sangat jarang berkeluh kesah tentang masalahku pada orang rumah. Entah itu orangtua atau pun adik, semua masalah akan ku tanggung dan pendam sendiri. Setelah menikah, aku tidak bisa tidak curhat pada suamiku. Pada dirinya lah, aku menunjukkan sisi terlemah dari diriku sebagai manusia.

Saat sedang LDM, tentunya tidak semua masalah bisa dijelaskan lewat telepon atau video call. Seperti ketika aku merasakan sesak nafas saat tidur, waktu itu sedang hamil 8 bulan. Aku terbangun dan berkali-kali ganti posisi saking tidak nyamannya. Kalau tidak LDM tentunya suamiku akan siaga dan berusaha membuatku nyaman lalu tertidur kembali, tapi karena jauh aku harus menanggungnya sendirian.

Juga ketika anakku sedang bertingkah, tidak mau ramah pada orang lain dan hanya ingin membuntutiku. Kemana pun, hingga aku susah untuk melakukan aktivitas yang seharusnya tidak membawa anak seperti ke kamar mandi dan makan. Sehari dua hari masih bisa tahan, lama-lama stress juga cuy! Kalau ada papanya, aku bisa bergantian atau bekerjasama dengannya untuk mengatasi tingkah laku anakku yang sedang seperti itu.

Entah karena sudah keenakan atau terbiasa, yang jelas aku tidak suka dengan kondisi harus mandiri seperti ini. Inginnya apa-apa dikerjakan bersama dengan partner hidup, tentunya dalam hal-hal tertentu ya. Aku pun merasa sosok suami adalah seorang pelindung istri dan anaknya, saat kami berjauhan aku seperti kehilangan sosok tersebut.

3. Tidak bisa melayani suami
Ketika berjauhan, aku tidak bisa mencuci pakaian suamiku, menyetrika bajunya, memasak untuknya, menyediakan minuman setelah ia pulang kerja, bahkan membangunkannya di pagi hari untuk bersiap kerja. Padahal semua itu ladang pahala seorang istri, ketika bisa melayani suaminya. Kalau sudah begitu suka sedih deh, huhu.

Aku tidak merasa tertindas dan terendahkan ketika mengerjakan itu semua. Why? Karena mungkin hal-hal seperti itu bisa menunjukkan bahwa aku menyayanginya, aku bukan seorang yang pandai berkata-kata dalam dunia nyata dan bukan seorang yang romantis. Setidaknya, dengan memberi service yang baik untuknya bisa menjadi cara lain untuk mengungkapkan perasaanku padanya.

4. Tidak berada di dekatnya
Salah satu kedukaan saat LDM adalah ketika ingin makan bersamanya, tapi jarak memisahkan. Saat ingin bercerita langsung di hadapannya, we're ten thousand miles apart. Pun ketika ingin bermanja-manja dengan suami tercinta, bisanya peluk guling aja deh! Aku salah satu tipe orang yang menikmati kesendirian, tapi tidak suka kalau berlama-lama sendirian. Haha. Kalau sudah merasa sepi seperti itu, si bocah lah anugerah yang bisa menceriakan hariku kembali. Thank's baby.

Berdasarkan ulasanku di atas, jelas ya untuk Long Distance Marriage aku berada di tim Nay alias BIG NO! Kalau pun suami harus pindah keluar pulau atau negeri, bawa daku pergi bersamamu Mas! Sebisa mungkin berusaha bagaimana caranya agar aku bisa ikut menemani suami kemana pun. Jika tidak memungkinkan, secara fisik mungkin aku bisa bertahan tapi masalah hati siapa yang tau? Hehe.

Intinya kalau masih bisa diusahakan maka aku tidak akan memilih LDM. Salut sih dengan banyaknya pasangan yang bisa bertahan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dalam LDM, hanya bertemu seminggu sekali atau bahkan setengah tahun sekali. Entah karena memilih atau karena memang tidak ada pilihan, LDM sungguh sebuah perjuangan yang tidak main-main.

Untuk para pejuang LDM, semangat selalu! Ingat bahwa badai pasti berlalu, bertahanlah karena ini hanya sementara. Kelak kalian akan dipersatukan kembali dengan pasangan kalian. Jangan lupa untuk membangun komunikasi efektif dan selalu menjaga hati, untuk keluarga yang berada jauh dan menanti kedatangan kalian.

Jadi, kalian yay atau nay nih?

Yogyakarta, 17 Maret 2020

Posting Komentar

0 Komentar