My and My 1st Trimester Story


Menikah di tanggal 14 Januari 2018 tanpa proses pacaran, membuatku tidak ingin terburu-buru memiliki anak. Ingin rasanya merasakan yang disebut dengan ‘pacaran setelah menikah’ selama beberapa waktu. Namun, tak berani juga aku menunda-nunda jika Allah ingin segera mempercayakan kami untuk menjadi orang tua.
“Sedikasihnya aja, nggak usah nunda nggak usah kejar target kapan harus hamil juga,” kata suamiku.
Sebulan setelah menikah dan tinggal dirumah mertua, aku baru mulai beradaptasi dengan rutinitas baru sebagai ‘ibu rumah tangga’. Aku mulai terbiasa dengan ritme kerjaku mengurus rumah dan mulai enjoy tinggal ramai-ramai bersama ayah mertua dan kakak ipar sekeluarganya.
Pada pertengahan bulan Februari lalu, aku mendapati diriku telat datang bulan. Bulan sebelumnya, ‘tamuku’ datang pada tanggal 15 Januari tepat sehari setelah aku menikah. Namun, hingga tanggal 18 Februari tamu bulanan itu belum juga datang padahal biasanya jadwalku tidak pernah meleset.
Dengan percaya diri suamiku mengatakan, “Alhamdulillah kamu hamil tuh! Kita coba testpack aja,”. Aku tak menghiraukan saran suamiku saat itu karena setelah meminta saran dari beberapa sahabat, banyak yang menyarankan untuk menunggu hingga telat seminggu supaya hasilnya lebih akurat. 
Keesokan harinya, aku mengikuti acara gathering kantor kakak iparku yang saat itu diadakan disalah satu waterpark. Pikirku lumayan untuk refreshing dan bisa lebih dekat dengan kakak ipar serta keponakanku. Kami menghabiskan waktu seharian diwaterpark tersebut. Saat sibuk berlari-lari dan menggendong keponakanku dikolam renang dalam rangka ‘ngasuh’, sempat aku berdo'a dalam hati, “Ya Allah, jika memang hamba hamil jaga lah bayi ini supaya nggak kenapa-kenapa…”
Pulang dari bermain dan berenang, tentunya rasa lelah menyerang dan aku langsung menghempaskan tubuh dikasur untuk beristirahat. Setelah tidur selama beberapa jam, suamiku mengajakku untuk pergi mampir ke rumah temannya didaerah yang cukup jauh dari rumah kami. Akhirnya, setelah magrib kami pergi kesana menggunakan sepeda motor.
Tak berapa lama singgah dirumah teman suamiku, aku merasakan badanku meriang dan ngilu-ngilu dibeberapa persendian. Pulang dari sana, seluruh badanku mengigil dan kepalaku terasa begitu berat. Aku pikir ini karena kecapekan setelah seharian beraktivitas dan cukup dengan tidur agak lama aku akan baikan. Namun yang terjadi, keesokan harinya suhu tubuhku semakin meningkat hingga 39 derajat Celcius, aku masih mengigil dan merasakan sakit yang amat sangat dibagian perutku. Akhirnya aku menenggak obat penurun demam dan pereda nyeri untuk mengurangi rasa tidak nyaman tersebut. Hingga besoknya, kondisiku tidak juga membaik dan ketika menyadari bahwa ‘tamu bulanan’ belum juga datang, suamiku berinisiatif membeli testpack sebelum kami pergi ke dokter.
“Supaya tau dokter mana yang mau kita datangi, dokter umum aja atau dokter kandungan,” katanya saat itu. Dan ternyata, persis dugaan suamiku sebelumnya hasil testpack menunjukkan garis dua yang berarti diriku positif hamil. Ditengah kedemaman serta kesakitanku, dengan lunglai aku mengucap “Alhamdulillah”. Sementara suamiku dengan bangga berkata, “Tuh kan bener aku udah bilang dari kemarin-kemarin!”
Akhirnya kami pergi ke dokter kandungan dan hasil USG menunjukkan dirahimku terdapat kantong kehamilan. “Ini baru mau jadi nih, baru ada kantongnya belum ada isinya. Dijaga ya supaya nggak gugur, jangan kecapekan dulu,” kata DSOG menjelaskan hasil USG yang saat itu menunjukkan usia kehamilan 5 minggu.
Seraya menuliskan resep, dokter bertanya, “Ada mual atau muntah?” aku pun menjawab, “Nggak ada, Dok,” dan dokter kembali menimpali, “Belum kali ya…”. Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya sambil berharap tidak ada drama dalam kehamilanku yang pertama ini.
Setelah bedrest selama tiga hari berikutnya, aku merasa diriku sudah sehat seperti sedia kala. “Yes, nggak mual nggak muntah nggak susah makan!” dalam hati aku merasa happy. Ternyata takdir berkata lain, mulai dari minggu ke-8 hingga ke-13 aku merasakan “nikmatnya” yang disebut Morning Sickness.

Minggu ke-8
Aku mulai merasakan mual-mual yang tidak diketahui datangnya dari mana. Awalnya aku kira karena aku kurang makan, jadi asam lambung meningkat tapi sebanyak apa pun aku makan rasa mual itu tidak juga sirna. Aku merasakan mual mulai dari pagi hari bangun tidur hingga malam hari saat hendak tidur. Makan dan minum apa pun, mual itu selalu menyertai.
Diminggu kedelapan itu, aku masih merasa sanggup menerima kondisi tersebut dan mensyukuri karena tidak ada drama muntah-muntah.

Minggu ke-9
Banyak hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi padaku sekarang menjadi pernah. Selain mual-mual yang tak kunjung hilang bahkan semakin parah diminggu ini, aku juga merasakan pusing sepanjang hari. Aku mencoba meredakannya dengan duduk, berbaring, berdiri, jalan-jalan namun semua usaha sia-sia. Pusing itu stay still dari bangun tidur hingga mau tidur lagi, berkombinasi dengan rasa mual.
Ayah mertua yang setiap pagi berjemur didepan rumah sering mengajakku ikut berjemur agar aku dan bayiku lebih sehat. Baru 5 menit menyerap sinar matahari, aku langsung merasa kunang-kunang hingga ingin pingsan. Walhasil, setengah harian bisa habis ditempat tidur untuk memulihkan energi.
Pernah juga untuk menyenangkan diriku, suamiku mengajakku pergi ke mall. Kami pergi mengendarai motor karena jaraknya cukup dekat. Ternyata jarak dekat tak berarti saat macet, jarak dari rumah ke mall yang seharusnya ditempuh dalam waktu 5-7 menit menjadi 20-30 menit. Diatas motor, aku mulai merasa berkunang-kunang dan dehidrasi. Begitu kami tiba di mall, aku hanya bisa terduduk tidak kuat jalan dan ingin cepat pulang. Setibanya dirumah, demam tinggi kembali menyerang hingga aku harus bedrest lagi selama beberapa hari. Hal ini mengherankan untukku yang sebelum hamil dan menikah sanggup tawaf berjam-jam mengelilingi mall. Haha..
Hal lain yang terjadi diminggu ini adalah kepekaan hidungku terhadap bau-bauan. Ini kemudian ikut berkombinasi juga dengan mual dan pusing sehingga mencium bau menyengat sedikit saja kepalaku langsung berputar-putar dan ingin muntah. Mencium bau bumbu dapur, bawang goreng, susu, ayam goreng bahkan bau ayam KFC yang biasanya begitu menggoda iman pun sungguh tidak menarik untukku. Awalnya ku pikir ini hanya sugesti, tapi selama beberapa hari nggak sanggup sama bau-bauan itu menyirnakan pikiranku kalau ini semua hanya sugesti dan memilih menerima kenyataan yang ada saja.
Aku pun tidak pernah lagi menyentuh dapur, boro-boro mau masak, liat perbumbuan didapur aja rasanya udah nggak karu-karuan. Ketika kakak ipar masak didapur, aku harus mengungsi sejauh mungkin hingga ke halaman depan untuk menghindari bau masakannya.
Saking nggak bisanya dengan bau masakan, sepanjang minggu yang aku makan hanya bubur ayam tanpa ayam. Setiap pagi suamiku membelikan bubur ayam tanpa toping ayam, bawang goreng, seledri dan kacang. Hanya bubur, kecap, cakwe dan kerupuk. Ia selalu membeli 2 porsi untuk makan pagi dan siangku, sementara malam hari yang bisa masuk hanya buah-buahan dan beragam biscuit.
Lagi-lagi dimasa ini aku masih bersyukur karena “yang penting nggak muntah”.

Minggu ke-10
Dimasa ini, combo semakin bertambah. Yang begitu aku khawatirkan benar terjadi, minggu ini selain mual, pusing dan nggak suka bau-bauan, muntah pun ikut melengkapi perjalanan kehamilan ditrimester pertama ini. Maaf ya, untuk kalian yang ikut ‘eneg’ ketika membaca ini. Fufu~
Setelah seharian menahan mual dan pusing dan bau masakan demi my baby bisa makan, semua itu akan dikeluarkan setiap sore hari menjelang atau setelah magrib. Yaa… Masih bisa bilang Alhamdulillah sih soalnya sehari sekali aja muntahnya nggak pernah lebih. Setiap setelah isi perutku terkuras habis, suamiku selalu memberikan air kelapa hijau untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang sekaligus mengurangi rasa tidak nyaman yang aku rasakan (mual dan pusing).
Kejadian muntah-muntah ini untungnya tidak berlangsung lama, hanya sekitar 4-5 hari. Sehingga pada saat weekend aku bisa pergi kencan dengan suamiku walau hanya sebentar karena aku masih dalam kondisi mual dan pusing yang unstoppable.

Minggu ke-11, 12 dan 13
Minggu-minggu ini adalah masa dimana “kejayaanku” berangsur-angsur kembali. Mulai minggu ke-11, secara ajaib pusing yang selama ini melekat dikepalaku membaik dengan sendirinya, membuat aku lebih produktif dirumah. Minggu ke-12, giliran mual yang sedikit demi sedikit pergi hingga akhirnya menghilang entah kemana dan diminggu ke-13, perlahan-lahan aku mulai menikmati kembali wanginya aroma masakan dan bisa sedikit-sedikit membantu pekerjaan didapur.

Akibat dari morning sickness yang ku alami selama beberapa minggu, aku terpaksa banyak menghabiskan waktu dengan tiduran dikasur, tidak bisa menjalankan banyak aktivitas baik dirumah apalagi diluar rumah. Aku pun mengundurkan diri sebagai bridesmaid saat sahabat-sahabatku menikah karena tidak mampu bepergian terlalu jauh dan terpaksa harus menarik diri sementara dari peradaban dengan tidak ikut main atau kumpul saat teman-teman mengajakku pergi.
Dalam kurun waktu yang membuat emosi naik turun tersebut, peran suami, keluarga serta sahabat-sahabat sangatlah penting. Dukungan dan perhatian yang mereka berikan membuatku merasa memiliki semangat hidup yang lebih untuk melewati masa-masa tersebut.
Begitulah cerita-cerita yang ku alami selama menjalani kehamilan dibulan pertama hingga ketiga. Aku yakin banyak wanita diluar sana yang memiliki pengalaman serupa tapi tak sama denganku, atau bahkan jauh berbeda. Ada yang mengalami hal-hal yang kusebut diatas hingga sembilan bulan namun ada pula yang sama sekali tidak mengalami drama selama kehamilannya. Bagaimana pun kisahnya, proses kehamilan adalah suatu yang patut disyukuri karena kita sebagai wanita dan istri telah dipercaya untuk menjaga dan membesarkan calon-calon penerus masa depan.
Aku pun terus bersyukur dan bahagia karena bayi dikandunganku yang saat ini berusia 27 minggu berkembang dengan sehat. Melihatnya tumbuh dan berkembang setiap bulan dari hasil USG sudah cukup membuatku tersenyum dan melupakan nikmatnya masa-masa trimester pertamaku.

Bandung, 26 Juli 2018

Posting Komentar

0 Komentar